30 Hari Delpedro Cs: Negara yang Takut pada Warganya Sendiri

0
141
  • Oleh Hasnu

John F. Kennedy pernah mengingatkan, “Hak setiap orang berkurang ketika hak satu orang terancam.” Kalimat itu kini terasa relevan di Indonesia. Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Syahdan, Paul, Khariq, dan sejumlah aktivis lain ditangkap dengan tuduhan penghasutan—sebuah pasal karet yang sejak lama dipakai untuk membungkam kritik.

Alih-alih menyambut 80 tahun kemerdekaan dengan optimisme menuju Indonesia Emas 2045, publik justru dipaksa menelan kenyataan pahit: Indonesia Cemas. Dari Jakarta hingga Papua, demonstrasi rakyat ditutup dengan gas air mata, luka, dan penjara. Negara kembali merespons dengan wajah lamanya: represi.

Kasus Delpedro Cs bukan sekadar perkara hukum. Tuduhan yang rapuh dan dipaksakan, ditambah “atensi pimpinan” di belakangnya, menunjukkan hukum telah terperosok menjadi alat politik. KUHP dibuka bukan untuk keadilan, melainkan untuk menakut-nakuti warga negara yang berani bersuara.

Bahaya yang lebih besar justru ada di sini: demokrasi sedang digiring mundur. Kritik diperlakukan sebagai makar, aktivisme dipersepsikan ancaman. Padahal, Delpedro dan Muzaffar bukan kriminal. Mereka representasi warga aktif—bukan sekadar penerima bansos, tapi penggerak perubahan yang menolak diam di tengah rusaknya tata kelola negara.

Melalui Lokataru, keduanya konsisten memperjuangkan HAM, demokrasi, dan keadilan sosial. Mereka hadir di garda depan ketika partai politik gagal menjalankan mandat rakyat. Isu yang mereka angkat—dari demokratisasi ekonomi, keadilan pekerja, hingga hak sipil—membuka borok lama republik ini: ketimpangan, PHK massal, krisis lingkungan, hingga kartelisasi oligarki yang menguasai negara, pasar, dan partai politik.

Kerja-kerja riset, advokasi, hingga gugatan hukum yang dilakukan Lokataru hanya satu dari sedikit perlawanan terhadap lingkaran setan oligarki. Namun langkah kecil warga aktif inilah yang dianggap berbahaya oleh rezim. Karena di mata penguasa, pikiran kritis lebih menakutkan daripada senjata.

Penangkapan Delpedro Cs memberi sinyal jelas: negara sedang kehilangan keberanian berdialog dengan rakyatnya. Posko bantuan hukum dicap penghasut, pegiat HAM difitnah, mahasiswa dicurigai, buruh dibungkam. Rezim lebih memilih jalan pintas: membungkam warganya sendiri daripada membuka ruang demokrasi yang setara.

Jika pola represi ini dibiarkan, Indonesia akan meluncur ke jurang otoritarianisme baru. Sebuah republik yang justru gemetar di hadapan warganya, takut pada aktivisme muda, dan ciut terhadap ide-ide perubahan yang semestinya menghidupkan demokrasi.

Namun, satu hal pasti: Delpedro dan Muzaffar tetap teguh. Mereka menghadapi proses hukum dengan kepala tegak, menjadi teladan bahwa konsistensi antara pikiran dan tindakan adalah inti perjuangan. Solidaritas juga terus mengalir—dari akademisi, buruh, mahasiswa, jurnalis, hingga tokoh bangsa. Gerakan sosial terbukti masih hidup: warga jaga warga, bukan sekadar slogan kosong.

Tiga puluh hari penahanan ini menyingkap wajah telanjang republik: negara lebih takut pada rakyatnya sendiri ketimbang pada oligarki yang menggerogotinya. Pertanyaannya kini, apakah kita akan terus membiarkan demokrasi dibonsai menjadi ketakutan, atau berani melawan agar negeri ini benar-benar layak disebut merdeka?

Hasnu adalah Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru Foundation

Leave a reply