LBH Jakarta Soroti Pola Penyiksaan Anak di Magelang Serupa dengan Kasus Tahanan Politik di Polda Metro Jaya

Konferensi Pers peluncuran laporan investigasi SANGKAR kasus dugaan salah tangkap di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Foto: Reza/Pedeo Project
JAKARTA, 1 November 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti dugaan penyiksaan terhadap enam anak di Magelang, Jawa Tengah, yang dinilai memiliki pola serupa dengan kasus penegakan hukum represif terhadap tahanan politik di Polda Metro Jaya. LBH menduga praktik kekerasan tersebut merupakan bagian dari respons aparat terhadap gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu.
Temuan itu diungkap dalam laporan investigasi yang diluncurkan oleh Solidaritas Perjuangan untuk Keadilan Rakyat (SANGKAR) pada Kamis (30/10). Dalam laporan tersebut, SANGKAR menemukan adanya dugaan salah tangkap, penyiksaan, dan penyebaran data pribadi terhadap enam anak di Magelang. Aksi tersebut diduga dilakukan oleh anggota Polres Magelang Kota.
Enam anak yang diduga menjadi korban masing-masing berinisial DRP (15), MDP (17), IPO (15), AAP (17), SPRW (16), dan MNM (17). Mereka dituding sebagai pelaku kerusuhan, namun belakangan diketahui tidak terlibat dalam peristiwa tersebut.
Menyoal temuan fakta-fakta dalam laporan investigasi tersebut, Direktur LBH Jakarta M. Fadhil Al-Fathan menerangkan bahwa apa yang terjadi di Magelang mencerminkan pola serupa dengan yang terjadi di Jakarta.
“Memang Magelang yang bisa diungkap beberapa fakta dan datanya, tapi bisa jadi hal serupa dilakukan juga di Polda Metro Jaya. Kasus ini juga melangkapi data dan pengetahuan kita bahwa penegakan hukum yang terjadi sebagai respon dari aksi akhir Agustus lalu,” ujar Fadhil saat Konferensi Pers peluncuran laporan investigasi SANGKAR pada Kamis (30/10).
Fadhil menekankan, korban dalam kasus Magelang adalah anak-anak, sehingga seharusnya proses hukum berpedoman pada asas kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA).
“Nah, dalam konteks ini kami pikir enam korban yang keluarganya berani menyampaikan apa yang dialami oleh anaknya maka penegakan hukum yang terjadi dalam konteks ini adalah penegakan hukum yang sudah jauh menyimpang dari sistem peradilan anak,” tegasnya.
Keterangan Anak Dijadikan Alat Bukti
Lebih lanjut, Fadhil menilai praktik represif yang terjadi di Magelang berkaitan dengan pola penegakan hukum terhadap para tahanan politik aktivis di Jakarta. Ia menyebut dalam sejumlah kasus, anak-anak dijadikan saksi oleh Polda Metro Jaya untuk menetapkan para aktivis sebagai tersangka.
“Ini memang terjadi di Magelang tapi kita harus lihat dalam satu koneksi, dalam satu orkestra penegakan hukum yang brutal. Dalam praperadilan kemarin, dalam temuan kami banyak anak dijadikan saksi untuk menetapkan Delpedro dkk sebagai tersangka,” ujarnya
Ia pun menyinggung bahwa para anak yang dijadikan saksi tersebut tidak mendapat dampingan dari Pekerja Sosial (Peksos) maupun Balai Pemasyarakatan (Bapas). Pihak keluarga dari anak pun dilaporkan tak ikut mendampingi saat mereka dijadikan saksi.
“Mekanisme khusus dalam sistem peradilan anak, khusus bagi anak sebagai saksi tidak diterapkan. Kami menduga kuat sangat mungkin keterangan tersebut tidak diberikan dengan bebas dan diberikan justru di bawah tekanan,” tegasnya.
Atas catatan tersebut LBH Jakarta menyesalkan praktik hukum yang terjadi di Magelang juga terjadi di Jakarta, dimana keterangan anak digunakan sebagai alat bukti untuk menjerat aktivis yang dituduh menghasut atau melakukan kerusuhan.
“Itu yang terjadi dalam konteks koneksi dengan apa yang terjadi di Magelang dan Jakarta. Dan saya yakin adalah temuan-temuan yang kuat, bukan endemik yang hanya terjadi di Magelang. Tapi ini bisa mengkonfirmasi apakah hal yang sama terjadi di Jakarta dan berbagai tempat lainnya,” pungkas Fadhil.
















