Banjir Jakarta, LBHJ Sebut Bentuk Kegagalan Tata Kelola Ibu Kota yang Tak Adil

0
90

JAKARTA, 2 November 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai banjir dan kemacetan yang melanda Ibu Kota pada penghujung Oktober 2025 merupakan kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam menata kota secara berkeadilan serta berorientasi pada manusia dan lingkungan.

“Banjir dan kemacetan adalah gejala dari akar masalah yang sebenarnya, yaitu kegagalan pemerintah dalam menata kota secara berkeadilan ruang yang berorientasi pada manusia dan lingkungan,” ungkap Alif Fauzi Nurwidiastomo, pengacara publik LBH Jakarta dalam keterangan tertulis yang diterima Pedeo Project, Sabtu (1/10/2025).

Diketahui, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat 54 RT terendam banjir pada 31 Oktober 2025. Di saat bersamaan, kemacetan juga dilaporkan terjadi di berbagai titik di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo menyebut keretakan tanggul menjadi penyebab banjir akibat meluapnya Kali Krukut.

LBH menyebut, banjir dan kemacetan merupakan fakta yang menunjukkan kerapuhan kota Jakarta. Mereka menyoroti bahwa sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan air laut dan mengalami penurunan tanah 3–10 cm per tahun. “Setiap tahunnya, terjadi banjir besar tanpa adanya evaluasi yang berarti,” jelas Alif.

Selain itu, dengan populasi sekitar 11 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta kini mencapai sekitar 24 juta unit, meningkat 7 juta kendaraan dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, sekitar 80 persen komuter menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama. LBH menilai kondisi ini berkontribusi besar terhadap polusi udara, penurunan produktivitas, dan kerugian ekonomi hingga hampir Rp100 triliun.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Tidak hanya persoalan tata kota, LBH Jakarta juga menilai banjir dan kemacetan yang tidak teratasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

“Banjir dan kemacetan yang tidak teratasi adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” tegas Alif.

Kedua persoalan ini disebut berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 dan UU HAM.

Banjir disebut berdampak pada rusaknya rumah sebagai tempat tinggal dan mendorong banyaknya penggusuran terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai. Sementara itu, kemacetan berdampak pada kenaikan harga rumah di tengah kota yang menyingkirkan masyarakat miskin.

LBH juga menyoroti dampak banjir terhadap kesehatan masyarakat. Air yang tercemar dan sistem sanitasi yang rusak disebut dapat menimbulkan berbagai penyakit.

“Hak atas kesehatan juga terpengaruh akibat macet, di antaranya disebabkan oleh adanya polusi udara yang tinggi yang mengganggu pernapasan, juga macet yang berdampak pada meningkatnya tingkat stres dan gangguan kesehatan mental,” sebut Alif.

Tak hanya itu, banjir kerap memutus akses transportasi, sehingga berdampak pada mobilitas warga menuju tempat kerja dan sekolah. Kemacetan juga dinilai mengurangi produktivitas dan waktu beristirahat akibat waktu yang terbuang di jalan.

Lebih jauh, hak atas lingkungan hidup yang baik, menurut LBH, juga turut terancam melalui banjir yang menurunkan kualitas air, mencemarkan sungai, dan mengurangi ruang terbuka hijau. Di sisi lain, kemacetan juga dinilai menjadi penyebab buruknya kualitas udara Jakarta.

LBH menegaskan, kedua persoalan tersebut menunjukkan lemahnya tanggung jawab Pemprov DKI dalam menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Pemerintah provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab hukum untuk membenahi permasalahan banjir dan macet di Jakarta,” lanjut Alif.

Akar Masalah

LBH Jakarta menilai akar persoalan terletak pada kegagalan pemerintah dalam menata kota secara berkeadilan serta berorientasi pada manusia dan lingkungan.

Banjir dan kemacetan disebut dipengaruhi oleh beberapa faktor kompleks, seperti pembangunan di zona hijau yang terus meningkat, serta ruang terbuka hijau yang masih jauh dari target, serta laju urbanisasi yang memicu alih fungsi lahan dan daerah aliran sungai menjadi kawasan beton untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan industri.

Selain itu, kegagalan pengelolaan air bersih disebut memaksa warga mengambil air tanah yang justru mempercepat penurunan muka tanah dan meningkatkan risiko banjir.

Penanganan banjir pun dinilai belum menyentuh akar masalah karena masih berorientasi pada betonisasi baik membangun tembok, tanggul, dan pengerasan lainnya, tanpa memperhatikan penyelarasan antara konservasi di hulu dan pendayagunaan di hilir.

LBH juga menyoroti bahwa 80 persen warga Jakarta mengandalkan kendaraan pribadi akibat transportasi umum yang belum memadai baik dari segi ketepatan waktu, kenyamanan, maupun keamanan.

Tata kelola dan koordinasi yang buruk antara pemerintah pusat dengan daerah juga disebut LBH turut memperburuk situasi. “Masalah tata kelola lembaga yang buruk juga menjadi masalah. Koordinasi antara pemerintah pusat dan provinsi yang kurang baik menyebabkan banyaknya penanganan masalah yang tumpang tindih,” tegas Alif.

Sementara beberapa rencana pemerintah, seperti pembangunan Giant Sea Wall, dinilai hanya menjadi solusi palsu yang berpotensi merusak lingkungan.

Tuntutan LBH Jakarta

Atas hal-hal tersebut, LBH Jakarta mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk:

1. Menghentikan laju pembangunan di zona hijau.
2. Menghentikan laju penurunan muka tanah dan menyepakati penyelarasan antara hulu–hilir karena daerah aliran sungai berkaitan dengan wilayah lain.
3. Melakukan penanggulangan bencana banjir dengan pemulihan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi.
4. Memperluas akses air perpipaan hingga mencapai 100 persen.
5. Mengelola dan memperbaiki ekosistem transportasi umum agar jumlah pengguna transportasi publik meningkat.
6. Melibatkan masyarakat secara luas dan partisipatif dalam penyusunan kebijakan penataan ruang sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana tertuang dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

LBH Jakarta juga meminta pemerintah pusat dan Pemprov DKI melakukan penanggulangan banjir secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh untuk mencegah keberulangan dengan mengedepankan orientasi pada manusia dan lingkungan.

Leave a reply