Jalan Terjal Korban Kekerasan Seksual di Manado: Proses Hukum Lambat, Kuasa Hukum Diusir dari Ruang Sidang

Aksi demonstrasi menuntut proses hukum terhadap kepala madrasah yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual. Foto: Dokumentasi Tim Kuasa Hukum
MANADO, 9 November 2025 – Suasana di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Manado, Selasa (5/11) lalu, berlangsung menegangkan. Advokat dari Aliansi Tateli II Melawan Kekerasan Seksual, Asmara Dewo, diusir oleh hakim ketua Felix Ronny Wuisan saat mendampingi korban kekerasan seksual di ruang sidang.
Peristiwa itu terjadi dalam persidangan perkara dugaan kekerasan seksual yang menimpa Bunga (bukan nama sebenarnya), siswi Madrasah Tsanawiyah Insani Tateli, Minahasa. Perkara ini bermula dari laporan keluarga korban ke Polresta Manado pada 14 Agustus 2024. Korban menuduh mantan kepala madrasahnya, HS, melakukan pelecehan seksual di rumah pelaku di Minahasa.
Awalnya, HS mengajak korban untuk memijat dirinya. Saat pemijatan berlangsung, pelaku menunjukkan gelagat tak pantas dan melontarkan percakapan bernuansa seksual. Usai pemijatan, HS memeluk korban dan menyentuh bagian tubuh sensitifnya. Panik, korban berusaha melepaskan diri dan kemudian melapor kepada keluarga.
Kasus itu sempat berjalan lambat sebelum akhirnya Kejaksaan Negeri Manado melimpahkan perkara ke pengadilan setelah tekanan publik meningkat dari berbagai jaringan advokasi, termasuk Aliansi Tateli II Melawan Kekerasan Seksual.
Diusir dari Ruang Sidang
Ketegangan di ruang sidang pada 5 November lalu muncul ketika Dewo mendampingi korban dan ayahnya memberikan keterangan sebagai saksi. Ia telah menunjukkan Surat Kuasa Khusus kepada majelis hakim. Hakim Felix sempat membaca dokumen itu, namun tetap memerintahkan Dewo keluar setelah bertanya kepada penasihat hukum terdakwa.
“Apakah keberatan ada penasihat hukum korban di ruang sidang?” ucap Dewo menirukan pernyataan si hakim. “Keberatan, Yang Mulia,” jawab Dewo.
Dewo mencoba bertahan. Ia kembali menegaskan bahwa ayah korban bersedia didampingi. Namun hakim tetap bersikukuh. “Silakan keluar! Sudah ada jaksa dan LPSK yang mewakili korban di ruang sidang,” ujar Felix.
Dewo menimpali, “Jaksa mewakili negara, bukan korban. Saya di sini untuk memastikan hak korban dan keluarganya terpenuhi.”
Suasana kian memanas. Dewo akhirnya bersedia keluar, namun dia sempat mengatakan kepada hakim, “Baru kali ini saya sebagai penasehat hukum korban diusir dari ruang sidang,” Hakim Felix membalas, “Saya juga baru kali ini berjumpa advokat seperti Anda.”
Felix lalu mengetuk palu berulang kali dan memerintahkan petugas Satpol PP untuk mengeluarkan Dewo dari ruang sidang. Sebelum pergi, Dewo menantang sang hakim untuk berdebat hukum secara terbuka. “Ya, ayo, sekalian debat kita. Tentukan tempat dan waktunya,” ujar si hakim.
Terkait dengan undangan debat terbuka kepada Hakim Felix tentang penanganan perkara kekerasan seksual, Dewo berharap undangan terbuka ini bisa ditanggapi secara serius dan bijaksana. Ia menilai, hal ini merupakan bentuk suri tauladan terhadap masyarakat jika ada persoalan tafsir hukum berbeda di antara sesama penegak hukum agar tidak merugikan salah satu pihak.
Soal Sidang Tertutup
Menyoal alasan hakim bahwa sidang bersifat tertutup, Dewo mengatakan dirinya sepakat dengan prinsip tersebut untuk melindungi identitas korban. Namun, menurutnya, tertutupnya sidang bukan berarti meniadakan kehadiran penasihat hukum korban.
“Yang boleh hadir adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan perkara, termasuk advokat yang diberi kuasa mendampingi korban,” kata Dewo kepada Pedeo Project.
Dewo mengaku menerima permintaan advokasi pro bono dari jaringan masyarakat di Sulawesi Utara yang prihatin dengan kondisi keluarga korban. “Saya hanya memastikan korban tidak berjuang sendiri di hadapan hukum,” ujarnya.
Kecaman dari Jaringan Anti Kekerasan Seksual
Beberapa hari kemudian, Dewo mengunggah video di akun Instagram @advokatmanado, menceritakan pengalamannya di ruang sidang sekaligus melayangkan undangan terbuka untuk debat hukum kepada hakim Felix.
Langkah Dewo mendapat dukungan luas. Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) mengecam tindakan hakim yang dinilai semena-mena dan mengabaikan sejumlah ketentuan hukum. Dalam pernyataannya, KAKSBG menyebut hakim melanggar sejumlah aturan, yakni:
1. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
2. UU Nomor 31 Tahun 2014 jo. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
3. Pasal 68C dan Pasal 70 ayat (2) huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS);
4. Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Awal Mula Peristiwa: Mimpi Buruk di Madrasah, Perjuangan Melawan Kuasa Ugal-ugalan Kepala Sekolah
Di usia yang baru menginjak 13 tahun, Bunga (bukan nama sebenarnya) seharusnya hanya sibuk dengan pelajaran dan cita-cita. Namun hari Rabu, 7 Agustus 2024, menjadi titik balik dalam hidup siswi Madrasah Tsanawiyah Insani Tateli, Minahasa, ini. Hari yang seharusnya diisi dengan tawa pelajaran olahraga berubah menjadi lembar hitam yang tak akan mudah ia lupakan.
Pagi itu, si kepala madrasah meminta Bunga memijatnya sebelum jam olahraga dimulai. Alasannya sederhana, Bunga dikenal piawai memijat, menurun dari sang ayah yang berprofesi sebagai tukang pijat. Iming-iming uang seratus ribu rupiah membuat Bunga menuruti permintaan itu. Sang guru olahraga bahkan memberi izin.
Namun, di balik permintaan sederhana itu, ternyata tersimpan niat buruk yang kelak mengguncang satu madrasah dan mencoreng wibawa pendidikan.
“Setelah masuk sekolah, pelaku meminta izin kepada guru mata pelajaran agar si korban memijatnya terlebih dahulu. Guru itu mengizinkannya,” ujar Asmara Dewo, kuasa hukum yang mendampingi Bunga.
Permintaan yang Menyesakkan
Bunga dibawa ke salah satu rumah milik si HS di Minahasa. Begitu tiba, suasana yang semula tampak biasa berubah tak nyaman. Saat pemijatan dimulai, HS melepas pakaiannya satu per satu hingga hanya tersisa celana dalam.
“Pelaku melepaskan pakaian, bahkan sampai celananya. Pelaku hanya memakai celana dalam,” ungkap Dewo menceritakan kejadiaan yang terjadi tahun lalu tersebut.
Bunga sontak terkejut. Selama ini, setiap kali ia memijat, tak pernah ada yang bertindak sejauh itu. Tapi hari itu berbeda, dan Bunga pun merasa semakin aneh ketika obrolan pelaku mulai berubah arah yang bernuansa seksual.
“Nah, saat mulai memijat, pelaku sudah mulai mengajak korban pembicaraan seperti bertanya apakah sudah melakukan hubungan seksual. Mengatakan s*s* korban besar,” kata Dewo.
Begitu pijatan selesai, si HS memeluk Bunga. Tangan pria itu meraba bagian tubuh yang tak sepantasnya disentuh. Bunga memberontak, menepis tangan pelaku, sembari mendorongnya menjauh. Si kepala madrasah hanya menanggapinya dengan senyum tipis, senyum yang belakangan menghantui Bunga setiap kali ia mengingat kejadian itu.
Setelah kejadian, Bunga menceritakan semuanya kepada teman, guru, dan juga orang tuanya. Laporan pun masuk ke Polresta Manado. Namun, proses hukum berjalan lamban. Meski pelaku sudah berstatus tersangka, berkas perkara tak kunjung dinyatakan lengkap (P-21).
Kuasa hukum Bunga bersama warga sekitar akhirnya menggelar demonstrasi di depan Polresta Manado, menuntut keadilan yang jalan di tempat. “Kami melakukan demonstrasi, saat demonstrasi itulah mulai ada P21, surat penahanan dan langsung ditangkap,” sebut Dewo. Pada keesokan harinya, tahap dua proses hukum pun bergulir.
Sidang yang Menyisakan Luka Baru
Satu tahun berlalu, kasus pun berlanjut ke pengadilan. Dalam sidang tertutup di PN Manado pada 5 November 2025, Dewo hadir mendampingi ayah Bunga sebagai Penasehat Hukum resmi dengan surat kuasa di tangan. Namun, hakim ketua, Felix Ronny Wuisan, memintanya keluar dengan alasan sidang tertutup.
“Saya bertahan, karena saya Penasehat Hukum korban, saya tunjukkan surat kuasa saya langsung,” tegas Dewo.
Hakim tetap menolak. Alasannya bergeser: Bunga sudah diwakili oleh Jaksa. Dewo menegaskan bahwa Jaksa mewakili negara, bukan korban secara pribadi. “Saya adalah advokat yang mendampingi korban untuk memastikan hak-haknya diruang sidang,” tegas Dewo kepada Hakim.
Perdebatan di ruang sidang membuat tensi semakin memanas. Hakim kemudian menanyakan kepada kuasa hukum kepala madrasah apakah keberatan atas kehadiran Dewo. “Keberatan yang mulia,” jawab kuasa hukum pelaku.
Situasi kian tegang. Dewo tetap bersikukuh, mengatakan ia tak ada urusan dengan kuasa hukum pelaku dan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada majelis hakim. Ketukan palu menggema berulang kali, Satpol PP pun dipanggil untuk mengusirnya keluar.
“Karena udah nggak kondusif lagi, akhirnya saya mau keluar,” ujar Dewo.
Namun sebelum keluar, hakim sempat berucap kepada Dewo, “Silakan nanti berargumentasi.” Dewo membalas tenang namun tegas, “Tentukan tempat dan waktunya. Saya siap berdebat hukum dengan Bapak.”
Hingga berita ini ditayangkan, Pedeo Project masih berupaya meminta konfirmasi dari Komisi Yudisial (KY) terkait proses persidangan yang dipersoalkan tim Penasehat Hukum korban tersebut.
















