YLKI Soroti Kebijakan Redistribusi Kuota Haji 2026, Ribuan Calon Jamaah Terancam Gagal Berangkat

Rapat koordinasi antara Kementerian Haji dan Umrah dengan Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) untuk Arab Saudi dalam rangka persiapan Ibadah Haji 2026 di Jeddah, (8/11/2025). Foto: Kementerian Haji dan Umrah
JAKARTA, 12 November 2025 – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti dampak besar kebijakan redistribusi kuota haji nasional tahun 2026 terhadap calon jamaah asal Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sukabumi. Kuota haji untuk wilayah tersebut anjlok drastis, dari 1.535 orang pada 2025 menjadi hanya 124 orang tahun depan.
Kebijakan itu merupakan hasil pembahasan dalam rapat kerja Kementerian Haji dan Umrah bersama Komisi VII DPR RI pada (28/11) lalu. Pemerintah menyebut skema baru ini dirancang agar seluruh provinsi memiliki masa tunggu yang setara.
“Setelah kami hitung menggunakan rumusan daftar tunggu dengan kira-kira rumusannya adalah kuota provinsi sama dengan daftar tunggu provinsi. Maka, disimpulkan angka sebagai berikut: Jawa Barat 29.643. Semua provinsi masa tunggunya sama, tidak ada lagi yang lebih dari 40 tahun” sebut Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Menteri Haji dan Umrah.
Dahnil menyebut, pembagian kuota tahun depan dan tahun ini secara signifikan berbeda sesuai prinsip. Ia mengatakan bahwa pembagian dan perhitungan kuota haji tahun 2025 pada setiap provinsi tidak memiliki landasan hukum. Sedangkan, rencana kuota tahun 2026 telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 14 tahun 2025.
“Rencana kuota tahun 2026 pada seluruh provinsi memiliki masa tunggu yang sama. Dampak dari pembagian kuota dengan pola penghitungan baru tersebut akan ada 20 provinsi yang mengalami pengurangan kuota, berdampak menambah waktu tunggu,” ungkap Dahnil.
YLKI menilai kebijakan itu berpotensi menunda keberangkatan ribuan calon jamaah yang telah menunggu lebih dari satu dekade. Lembaga tersebut mendesak pemerintah agar segera memberi penjelasan terbuka mengenai regulasi baru tersebut.
Kebijakan ini, menurut YLKI, perlu dievalusai dari perspektif perlindungan konsumen dalam layanan publik keagamaan. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
YLKI mengingatkan pemerintah agar memberikan kepastian hukum, transparansi dan akuntabilitas penuh atas setiap perubahan kebijakan. Terlebih, jika kebijakannya memiliki dampak pada hak keberangkatan konsumen.
Pemerintah juga diminta untuk secara masif dan terbuka menginformasikan formula pembagian kuota antar provinsi dan kabupaten/kota. Termasuk parameter jumlah penduduk muslim dan masa tunggu.
Dari kasus umrah satu dekade ke belakang, pemerintah mestinya belajar bahwa akibat travel yang bermasalah, ratusan ribu calon jamaah gagal berangkat ke tanah suci. Dalam laporannya selama mendampingi calon jamaah, YLKI menyebut, mereka yang terdampak mengalami bukan hanya kerugian materiil tapi juga psikoligis.
“Itu merupakan pukulan telak bagi konsumen dan tidak boleh terulang di kemudian hari, begitu pun kegagalan haji Furoda tahun 2025 juga belum kering dari ingatan,” ungkap Niti Emiliana, Ketua YLKI, dalam pernyataan tertulis yang diterima Pedeo Project pada Rabu (12/11).
Pemerintah juga didorong agar membuka ruang dialog dengan calon jamaah haji yang terdampak akibat kebijakan redistribusi ini. Pemerintah harus menyiapkan skema pengaduan bagi konsumen yang terdampak dan memberikan kompensasi yang adil.
Sebagai langkah konkret, YLKI merekomendasikan Kementerian Haji dan Umrah membentuk Divisi Perlindungan Konsumen serta menyediakan hotline khusus bagi jamaah haji dan umrah yang gagal berangkat.
“Mekanisme ini penting untuk memastikan adanya penanganan cepat terhadap keluhan konsumen, pengawasan terhadap pelaku usaha travel, serta jaminan agar keberangkatan jamaah berlangsung tepat waktu, aman, dan selamat hingga tiba di tanah suci dan kembali ke tanah air,” sebut Niti Emiliana, Ketua YLKI.
















