Auriga dan KontraS Sumut Kecam Dugaan Penyerangan PT TPL terhadap Masyarakat Adat Sihaporas

0
171

JAKARTA, 26 September 2025 – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara dan Auriga Nusantara mengecam dugaan penyerangan yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Senin (22/9/2025). Kedua lembaga itu menilai peristiwa ini sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia sekaligus praktik perampasan tanah adat yang dibiarkan negara.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Auriga, masyarakat adat Sihaporas diserang oleh sekitar 150 orang karyawan PT TPL yang terdiri dari satuan pengamanan perusahaan, buruh harian lepas, dan sejumlah orang yang diduga preman bayaran. Mereka datang dengan berpakaian serba hitam dan melakukan penyerangan dengan parang, tameng rotan dan alat setrum saat masyarakat tengah berada di rumah.

Sebanyak 33 warga menjadi korban (18 perempuan dan 15 laki-laki), dan 10 di antaranya mengalami luka serius. Diketahui juga, seorang anak penyandang disabilitas dan seorang mahasiswi Institut Pertanian Bogor turut menjadi korban penyerangan ini. Selain itu, posko, rumah, serta beberapa sepeda motor milik warga turut menjadi sasaran penyerangan PT TPL.

“Kami menilai peristiwa ini bukan hanya bentuk kekerasan terhadap manusia, melainkan juga bagian dari praktik perampasan tanah adat yang telah lama berlangsung dan terus dibiarkan oleh negara,” tegas KontraS Sumut dalam keterangan tertulis yang diterima Pedeo Project.

Peristiwa ini menambah catatan buruk tindakan PT TPL terhadap masyarakat adat di sekitar Danau Toba. KontraS Sumut mencatat, setidaknya terdapat tujuh letusan konflik di tanah adat yang diklaim PT TPL sepanjang periode Maret 2024 hingga September 2025.

Dalam rilis pers Auriga yang diterima Pedeo Project, selama lebih dari empat dekade PT TPL telah melakukan monopoli dan perampasan tanah seluas 269.000 hektare hutan di Sumatera Utara milik 23 komunitas adat di 12 kabupaten. Dari jumlah itu, 33.422,37 hektare merupakan wilayah adat yang telah dijaga 11 generasi sejak awal tahun 1800-an.

Auriga juga mencatat, setidaknya terdapat 13 kasus kekerasan terhadap komunitas adat sejak PT TPL beroperasi, yang lima di antaranya merupakan kasus kekerasan fisik atau ancaman fisik, dan delapan lainnya merupakan kasus kriminalisasi.

Auriga menilai, konflik ini tidak bersifat sporadis, melainkan manifestasi dari masalah struktural yang berakar pada sengketa agraria dan model bisnis ekstraktif yang mengabaikan hak-hak dasar manusia. Sejalan dengan itu, KontraS Sumut pun menyebut pelanggaran ini sudah bersifat sistemik karena melibatkan aktor korporasi yang seharusnya tunduk pada prinsip-prinsip HAM.

Auriga menegaskan, kasus ancaman terhadap masyarakat adat ini seharusnya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk bersikap tegas dan mencegah konflik serupa berulang di masa yang akan datang.

“Pembiaran konflik yang terus menerus dan membenturkan karyawan (yang notabene juga rakyat) dengan Masyarakat Adat semakin menunjukkan ketiadaan itikad baik dari pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan konflik ini. Salah satu janji yang perlu ditagih adalah wacana Komisi XIII DPR RI untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama dengan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM), dan Komnas HAM yang sempat terlontar pada saat agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi XIII DPR RI dengan Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPIC) Kapusin Medan, pada 9 September 2025 lalu,” tegas Auriga dalam rilis pers yang diterima Pedeo Project.

Di samping itu, Auriga juga mendesak pemerintah lewat enam poin uraian berikut:

  1. Komisi XIII DPR RI segera meresmikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama Kementerian HAM dan Komnas HAM untuk melakukan investigasi dan mendalami dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT TPL terhadap Masyarakat Adat
  2. Kementerian Kehutanan melakukan penataan ulang terhadap izin PT TPL dan mengeluarkan izin dari wilayah dan/atau hutan adat masyarakat setempat;
  3. PT TPL menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga dan masyarakat adat, serta menghormati hak-hak masyarakat adat
  4. Memprioritaskan dan mempercepat proses pemetaan partisipatif dan pengakuan hukum atas wilayah-wilayah adat di sekitar konsesi TPL. Ini akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan menjadi dasar untuk penyelesaian sengketa tenurial.
  5. Secara proaktif terlibat dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang dimediasi oleh pihak ketiga yang independen dan dipercaya oleh kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mencapai solusi yang adil dan permanen yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
  6. Secara konsisten dan bermakna menerapkan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) untuk semua operasi saat ini dan di masa depan yang berpotensi berdampak pada masyarakat adat, bukan hanya sebagai formalitas prosedural tetapi sebagai prasyarat fundamental untuk beroperasi.

Senada dengan Auriga, KontraS juga menyebut negara secara konstitusional berkewajiban untuk melindungi masyarakat adat dari praktik PT TPL yang jauh dari prinsip bisnis dan HAM.

“Tindakan penyerangan terhadap masyarakat adat Sihaporas merupakan pelanggaran berat terhadap Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, dan harta benda. Lebih lanjut, tindakan ini melanggar Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) khususnya Pasal 7 tentang perlindungan diri atas martabat dan harta benda di mana itu adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar,” tegas KontraS.

Terdapat tiga poin tuntutan KontraS Sumut kepada pemerintah:

  1. Mengutuk keras penyerangan brutal dan kekerasan yang dilakukan PT TPL terhadap masyarakat adat Sihaporas. Menuntut PT TPL segera menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan perampasan tanah masyarakat adat di sekitaran Danau Toba.
  2. Mendesak Polres Simalungun melakukan investigasi mendalam atas kasus kekerasan PT TPL terhadap masyarakat
  3. Mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan konflik agraria di wilayah adat Sihaporas dan wilayah lain yang terdampak konflik agraria dengan PT TPL dengan mengutamakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Hingga saat ini Presiden Direktur PT TPL Sandeep Bhalla belum memberikan jawaban terkait peristiwa ini setelah tim Pedeo Project hubungi melalui akun media sosial pribadinya.

(Reza/Yasyri)

Leave a reply