Satu Jenazah Korban Longsor Tambang Freeport Dikebumikan di Ponorogo

0
41

PONOROGO, 22 September 2025 – Jenazah dua karyawan PT Freeport Indonesia yang ditemukan meninggal dunia setelah terjebak di area tambang bawah tanah di Tembagapura, Mimika, Papua Tengah telah diterbangkan ke rumah duka masing-masing.

Satu di antaranya, jenazah Wigih Hartono (37) yang tiba di rumah duka di Dusun Karang Tengah Kulon, Desa Nambak, Kecamatan Bungkal, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur pada Minggu (21/09) sekitar pukul 02.30 Waktu Indonesia Barat (WIB).

Setelah disemayamkan dan disalatkan, jenazah akhirnya dikebumikan di tempat pemakaman umum (TPU) yang berjarak sekitar 500 kilometer dari rumah duka.

Dalam prosesi pemakaman, Jarmini (37), istri almarhum tidak ikut ke TPU. Ia tetap berada di rumah duka. “Masih syok,” ujar Imam Arif Susanto, adik Wigih Hartono.

Kondisi itu masih nampak di raut wajah Jarmini hingga siang hari. Ibu dari dua anak beberapa kali membasuh air matanya yang menetes ke pipi ketika menyalami para pelayat yang datang.

Tubuhnya yang terlihat lemah juga disandarkan pada dinding tembok salah satu sudut ruang tamu kediamannya. Sembari duduk selonjoran, perempuan itu sering kali mengusap rambut seorang anak lelakinya yang tertidur di sampingnya. Anak kedua dari pasangan Wigih dan Jarmini itu juga juga berada di ruang tamu.

“Maaf, untuk wawancara jangan dulu ke istri almarhum. Masih syok,” ujar Imam saat ditemui di rumah duka.

Imam lantas menceritakan sosok Wigih. Menurutnya, semasa hidup, almarhum dikenal periang dan sering bercanda dengan keluarga. “Kalau lagi di tongkrongan (tempat nongkrong) paling suka buat ketawa orang. Tidak neko-neko, ngopi ya ngopi saja. Ngerokok juga nggak,” kata Imam.

Selama hidup, ia melanjutkan, Wigih juga merupakan pribadi yang kuat. Sebelum sebagai teknisi kelistrikan di PT Citacontrac yang bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia, Wigih telah jatuh bangun.

Sejak lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Wigih yang berasal dari Kabupaten Tulungagung, telah bekerja sebagai kuli bangunan hingga tukang las di Malaysia. “Menjadi (TKI) Tenaga Kerja Indonesia. Kemudian, pulang ke Ponorogo dan bekerja ke bengkel las milik orang,” ujar Imam.

Sejak tujuh tahun terakhir, Wigih bekerja ikut bekerja di rekanan PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua Tengah. “Meski bekerja di sana, tapi setiap tahun pulang. Paling tidak, setahun dua kali pulang kampung,” ungkapnya.

Selama masa libur, Wigih banyak memanfaatkan waktunya di rumah. Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan, seperti membersihkan pekarangan, membuat kandang ayam, dan bermain dengan anak-anaknya. “Kalau pulang, pasti menengok orang tua di Tulungagung,” ujarnya.

Kali terakhir, kepulangan Wigih ke kampung halaman hanya beberapa saat sebelum insiden terjebaknya tujuh pekerja di area tambang bawah tanah oleh longsor. Imam mengetahui saudaranya menjadi salah satu korban setelah ditelepon kakaknya.

“Mas Halim menyampaikan kalau Hartono (panggilan akrab almarhum Wigih) menjadi salah satu korban. Saya diminta menghubungi keluarga di Tulungagung untuk menjaga ibu agar tidak kaget,” ungkapnya.

Dalam komunikasi via telepon seluler itu, awalnya, Imam diminta ikut pergi Papua Tengah untuk turut memantau proses evakuasi pekerja yang tertimbun longsor di area tambang. Kemudian, memastikan identitas korban setelah jenazah berhasil ditemukan.

Namun, ia berhalangan lantaran tidak bisa mengajukan cuti secara mendadak di tempat kerjanya di Kalimantan. “Maka yang pergi ke sana atas permintaan PT Freeport Indonesia Mas Halim, Jarmini istri almarhum Wigih, dan kakak ipar almarhum,” ujarnya.

Awalnya, keluarga berharap agar Wigih Hartono dapat ditemukan dalam kondisi selamat. Namun, karena proses pencarian berlangsung selama beberapa hari, akhirnya diharapkan agar tubuh Wigih bisa dievakuasi.

“Akhirnya, ada kabar kalau korban yang ditemukan, salah satunya jenazah almarhum (Wigih). Keluarga yang pergi ke sana (Mimika) juga memastikan, kalau itu Hartono. Kami harus mengikhlaskannya,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak PT Citacontrac dan PT Freeport Indonesia tetap bertanggungjawab atas insiden yang menimpa Wigih Hartono. Salah satunya, perwakilan perusahaan itu turut mengantar jenazah Wigih ke rumah duka di Ponorogo.

Mahmudin, kerabat Wigih dari keluarga Jarmini, istrinya menambahkan, perwakilan pihak PT Citacontrac dan PT Freeport yang datang ke rumah duka juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga almarhum. Karangan bunga duka atas nama perusahaan tersebut juga terpampang di depan rumah duka.

“Saya tahunya, (perwakilan dari perusahaan) menyampaikan ucapan turut berduka cita (secara langsung) kepada keluarga. Kalau untuk yang lain-lain (santunan), saya belum tahu,” ujarnya.

Keluarga Sempat Tidak Percaya

Kaget dan tidak percaya. Itulah hal yang dirasakan pihak keluarga ketika mendengar kabar tentang meninggalnya Wigih Hartono. Kabar itu tersampaikan melalui sambungan telepon seluler.

“(Perwakilan) keluarga yang datang ke sana, namanya Pak Halim (kakak almarhum) mengabarkan kepada istrinya yang ada di Tulungagung (tentang kepastian kematian Wigih), kemudian diteruskan ke keluarga yang ada di sini (Ponorogo),” jelas Udin, panggilan Mahmudin.

Kepastian meninggalnya Wigih itu diterima pada Minggu (20/09) sekitar pukul 09.00 WIB. Tak berselang lama, kabar itu terdengar luas. Pihak keluarga dan warga sekitar langsung mempersiapkan penyambutan jenazah.

Apalagi, sesuai informasi yang diterima dari Mimika, jenazah akan diterbangkan ke rumah duka. “Kami yang di sini langsung bersih-bersih, memasang tenda, dan menggali liang lahat,” kata Udin.

Kematian Wigih tentunya mengundang rasa iba dari kerabat terhadap istri dan dua anaknya yang masih kecil. Apalagi, almarhum merupakan tulang punggung keluarga. Sebelum bekerja sebagai teknisi kelistrikan di areal tambang perekonomiannya terbilang minim.

“Dari kecil sudah terlunta-lunta (karena ibunya meninggal dan diasuh oleh bibi di Tulungagung), dulu kerja sebagai kuli bangunan, jadi TKI di Malaysia. Sekarang sudah agak enak, tapi harus seperti ini (meninggal dunia),” ungkapnya.

Belum lagi, selama hidup, Wigih dikenal sebagai sosok yang baik terhadap keluarga, kerabat maupun, tetangga. Bahkan, setiap kali pulang kampung, sering kali mengajak anggota keluarga besar berwisata dan silaturahmi ke Tulungagung.

“Kalau travelling, kadang di daerah Ponorogo dan luar kota dan keluarga diajak. Kalau (almarhum) di rumah, lebih banyak momong anaknya yang masih kecil,” ungkapnya sembari menyebut umur kedua anaknya 12 tahun dan 3,5 tahun.

Artikel ini merupakan kontribusi N. Dian, dari Ponorogo

Leave a reply