
“Baju Kamu Keren, Tapi Siapa yang Bayar Harganya?”
- Ruang Berpikir Kritis
Pernah nggak sih, kamu pakai kaos dari brand ternama, terus posting OOTD, lalu scroll TikTok dan lihat berita tentang buruh pabrik di Asia Tenggara yang digaji nggak cukup buat makan?
Pernah mikir nggak, kalau laptop yang kamu pakai buat ngerjain tugas, atau kopi yang kamu minum sambil kerja freelance, itu mungkin diproduksi dengan “harga” yang nggak kamu lihat: upah murah, kerja paksa, atau bahkan kerusakan lingkungan?
Kalau kamu berpikir seperti itu, tenang, kamu nggak sendiri. Sekarang semakin banyak anak muda yang kritis memandang situasi ini, dan bertanya, “Kok bisa ya, bisnis gede-gede untung miliaran, tapi ternyata di belakangnya masih banyak hak-hak pekerja yang dilanggar?”
Jadi, bisnis nggak melulu soal untung. Cara pandang tentang bisnis sudah berubah. Dulu, orang berpikir kalau HAM itu hanya urusan negara. Pelanggaran HAM itu identik dengan penyiksaan, perang, atau penindasan. Tapi hari ini, pelanggaran HAM bisa terjadi di tempat yang jauh lebih dekat: pabrik tekstil, kebun sawit, bahkan platform digital.
Bisnis hari ini bukan cuma entitas ekonomi. Ia punya power yang besar banget, seperti cakupan bisnis yang lebih luas dari negara, hingga data yang lebih banyak dari lembaga publik. Jadi wajar kalau kamu menuntut perusahaan untuk menghormati dan melindungi HAM dalam tiap lini kegiatan usahanya.
Munculnya Prinsip Global: UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs)
Di tahun 2011, PBB secara resmi bilang: “Perusahaan juga punya tanggung jawab terhadap hak asasi manusia.” Mereka bikin panduan global namanya UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Intinya ada 3:
- Negara harus melindungi hak-hak warga dari dampak bisnis, misalnya bikin undang-undang yang ngatur kerja layak;
- Bisnis harus menghormati HAM, bukan cuma “jangan jahat”, tapi aktif mencegah pelanggaran;
- Korban harus bisa mendapat keadilan, mendapatkan akses luas membuat laporan pelanggaran HAM dan meminta pemulihan.
Terus, apa hubungannya sama kalian yang muda-muda? Nah, ini bagian pentingnya. Anak muda ada di semua sisi. Sebagai konsumen, misalnya, anak muda sebagai pembeli produk dihadapkan pada pilihan brand etis atau eksploitatif. Dari sisi pekerja, anak muda sejatinya bisa menuntut lingkungan kerja yang adil dan sehat.
Jadi jangan pikir anak muda tidak punya pengaruh dalam mengawal implementasi prinsip bisnis dan HAM. Karena keputusan sekecil apa pun yang kalian buat, kayak membeli baju brand beretika, bisa jadi pernyataan sikap yang penting buat keberlangsungan brand tersebut.
Kamu perlu tahu, bahwa banyak brand fashion yang bikin baju di pabrik-pabrik yang ada di Bangladesh, Vietnam, bahkan Uighur (China), yang diduga ‘melegalkan’ kerja paksa. Pabrik-pabrik di sana memberikan upah minim dan memaksa pekerjanya bekerja selama 12 jam. Lingkungan kerja seperti itu jelas nggak aman dan sehat buat pekerja.
Tak hanya brand fashion, perusahaan big tech juga banyak yang nggak beretika. Mereka memang nggak minta kamu bayar untuk buka akun, tapi datamu ternyata dikumpulin, lalu kamu dijadikan target iklan. Bahkan, kadang datamu disalahgunakan. Masih banyak startup dan platform digital yang belum punya prinsip perlindungan privasi yang transparan.
Yang lebih ngeri lagi dari brand fashion dan big tech, adalah operasi perkebunan sawit besar yang merampas lahan masyarakat adat, melakukan deforestasi, dan menciptakan konflik sosial berkepanjangan. Kamu tahu, kan, kalau HAM itu juga soal lingkungan, karena krisis iklim bikin hidup banyak orang makin rentan.
Contoh-contoh praktik bisnis yang nggak beretika itu mudah kamu temukan di kanal-kanal pemberitaan. Jadi, kamu nggak perlu jadi aktivis untuk menyelami semua persoalan itu. Cukup mulai dari ngerti apa itu bisnis dan HAM, lalu cari tahu brand-brand mana yang punya etika. Kamu juga bisa ngikutin akun-akun media sosial yang bahas soal isu ini.
Atau paling tidak, kamu bisa jadi konsumen yang kritis yang selalu tanya tentang asal muasal barang yang mau kamu beli. Pabriknya dimana, dibuat oleh siapa, dan sebagainya. Kalau bisa, kamu wajib pilih brand yang benar-benar transparan soal rantai pasok dan mitra kerjanya. (Red)















