Gelar Doa Bersama, Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Segera Penuhi Tuntutan 17+8

Masyarakat sipil menggelar doa bersama untuk Affan Kurniawan di kawasan Pejompongan, Jakarta Selatan, Selasa (30/9/2025). Foto: Reza/Pedeo Project
JAKARTA, 2 Oktober 2025 – Kelompok masyarakat sipil menggelar aksi doa bersama untuk mendiang Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol) yang tewas terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polda Metro Jaya pada 28 Agustus 2025 lalu.
Dalam doa bersama yang digelar pada Selasa (30/9/2025) tersebut, masyarakat sipil juga membacakan tuntutan kepada pemerintah. Salah satunya mendesak pemerintah melakukan perubahan terhadap berbagai kebijakan sosial ekonomi yang menjadi tuntutan demonstran.
Tuntutan itu tercermin dalam 17+8 yang mencangkup 8 tuntutan ekonomi, perubahan aturan parpol dan sistem pemilu, 24 masalah + 9 tuntutan reforma agraria sejati, resolusi pelanggaran HAM berat, dan tuntutan lainnya.
“Rakyat mempertanyakan ketidakadilan hukum dari ketimpangan sosial ekonomi, akibat kerusakan alam, korupsi kolusi nepotisme, dan praktik otoriter yang mendisfungsi demokrasi. Faktanya, negara lambat, tidak cakap, tidak serius, dan tidak bertanggung jawab dalam mengubah kebijakan yang dipersoalkan,” tegas Lilly Pujiati dari Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) saat pembacaan tuntutan.
Selain itu, masyarakat sipil juga mempertanyakan sikap negara yang menolak membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen karena menilai sudah ada ‘tim gabungan’ dari enam Lembaga Negara HAM (LNHAM). Padahal, menurut masyarakat sipil, pembentukan tim LNHAM membatasi penyelidikan peristiwa kerusuhan Agustus-September hanya di lingkup non-yustisial.
Selain itu, menurut masyarakat sipil, pembentukan Komisi Reformasi Polri juga masih belum jelas konsep dan tujuannya. “Polri sendiri terlihat menutup diri terhadap tuntutan publik dengan hanya melibatkan anggota internal kepolisian di dalam Tim Transformasi Reformasi Polri. Ini semua menambah keraguan akan keseriusan negara,” ujar seorang dari elemen mahasiswa saat membacakan tuntutan.
Sampai hari ini pun, penangkapan terhadap para aktivis masih terus terjadi. Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan menyebut ada 6.179 orang. Polri mencatat 3.195 orang. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 3.337 orang.
Bahkan, data yang diumumkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, ada 995 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Termasuk diantaranya 295 anak berusia di bawah 18 tahun.
“Penangkapan dan penahanan yang didasari pemahaman sesat tentang anarkisme, disertai perampasan buku dan dokumen menunjukkan kedangkalan pengetahuan sekaligus memperkuat dugaan praktik rekayasa kasus,” tegas Dery Prima mahasiswa STHI Jentera saat membacakan tuntutan.
Masyarakat pun menyoroti bahwa selama ini negara hanya melontarkan tuduhan tanpa fakta. Rangkaian penangkapan tersebut dinilai lebih terlihat sebagai upaya menutupi kegagalan negara sekaligus pengkambinghitaman para aktivis.
Tindakan penangkapan para aktivis yang diikuti penyitaan buku-buku disoroti masyarakat sebagai bentuk ketidakprofesionalan polisi. Bahkan lebih kepada, ‘pemolisian politik negara otoriter’.
Tuntutan Ultimatum Amarah Rakyat
Bersamaan dengan peringatan tewasnya Affan Kurniawan, masyarakat sipil mendesak pemerintah segera memenuhi tuntutan para demonstran. Mereka memberi tenggat waktu sebelum 20 Oktober 2025. Tuntutan itu antara lain:
- Penuhi dan laksanakan seluruh tuntutan perubahan sistemik negara saat ini. di antaranya: Tuntutan 17+8, 8 tuntutan ekonomi, perubahan aturan parpol dan sistem pemilu, 24 masalah + 9 tuntutan reforma agraria sejati, resolusi pelanggaran HAM berat, dan tuntutan lainnya;
- Adili dan sanksi berat seluruh pengurus negara yang menjadi pelaku maupun yang bertanggung jawab atas kematian Affan Kurniawan, Muhammad Akbar Basri, Sarinawati, Saiful Akbar, Rusdamdiansyah, Sumari, Rheza Sendy Pratama, Andika Lutfi Falah, Iko Juliant Junior, dan Septinus Sesa. Temukan segera dan kembalikan Muhammad Farhan Hamid dan Reno Syachputra Dewo kepada keluarganya;
- Hentikan segala proses hukum dan rehabilitasi seluruh tahanan politik rekayasa Polri saat ini, termasuk pengembalian buku, dokumen, dan barang pribadi lain yang telah disita. Segera bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen dalam kasus ini. Lebih dari itu, rombak KUHAP yang menjadi pangkal kesewenang-wenangan praktik hukum saat ini;
- Bubarkan Tim Transformasi Reformasi Polri karena hanya beranggotakan kepolisian saja dan tolak Komite Reformasi Polri bila hanya menjadi alat politik untuk memperkuat militerisme. Reformasi Polri harus independen dan bebas kepentingan politik elit Polri maupun TNI;
- Bubarkan Komunitas Ojol Kamtibmas di Jabodetabek. Selain rawan penyalahgunaan wewenang, pembentukan organisasi ini rentan membungkam aspirasi ojol dan memecah-belah rakyat. Tingkatkan kesejahteraan ojol dengan menghilangkan potongan biaya yang tidak berpihak pada ojol;
- Moratorium Program MBG. Tangkap, adili dan berikan sanksi berat kepada seluruh pihak yang bertanggungjawab atas bencana keracunan saat ini.
Selain itu, jaringan masyarakat sipil juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk:
- Membentuk kelompok dan mengorganisir tuntutan perubahan sistemik di tingkat nasional hingga daerah di seluruh sektor;
- Melanjutkan demonstrasi dengan menargetkan DPR/MPR dan/atau DPRD sebagai simbol untuk menjaga dan memulihkan marwah rumah rakyat. Pastikan seluruh anggota DPR/DPRD tetap bisa bekerja dan kawal hingga seluruh tuntutan perubahan sistemik dipenuhi;
- Menjauhkan dan menghindari diri dari kekerasan dan konflik horizontal serta melindungi fasilitas umum.
















