Dugaan Malpraktik di RSCM: Dokter Senior Divonis Tak Terbukti Langgar Disiplin, Keluarga Pasien Kecewa

Tim Pemeriksa Disiplin Majelis Disiplin Profesi (MDP) membacakan putusan atas kasus dugaan malpraktik dokter P, Rabu (1/10/2025). Foto: Mirza M. Bagaskara/Pedeo Project
JAKARTA, 2 Oktober 2025 – Kasus dugaan malpraktik terhadap anak J oleh dokter senior Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr Cipto Mangunkusumo/RSCM memasuki babak akhir. Majelis Disiplin Profesi (MDP) memutuskan menolak seluruh permohonan Pengadu, dalam hal ini orang tua J, Adam Harits.
Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (1/10/2025), Ketua Tim Pemeriksa Disiplin Prasetyo Edi menyebut dokter senior berinisial P selaku teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf f, dan huruf h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Selain itu, Prasetyo juga memerintahkan seluruh barang bukti berupa dokumen dan barang bukti lainnya tetap berada di dalam berkas pemeriksaan. ”Putusan atas pemeriksaan terhadap pengaduan ini mulai berlaku sejak dibacakan oleh Tim Pemeriksa Disiplin,” kata Prasetyo membacakan amar putusannya.
Dalam pertimbangannya, Tim Pemeriksa Disiplin menyatakan semua poin pengaduan orang tua J tidak terbukti. Misalnya, pengaduan terkait dugaan tindakan tidak kompenten dokter P dalam melakukan praktik kedokteran yang mengakibatkan kebocoran usus J pasca endoskopi.
Tim Pemeriksa Disiplin menyebut dokter P telah mengikuti clinical fellow paediatric endoscopy including both gastroscopy and colonoscopy sesuai kompetensinya sebagaimana dibuktikan dengan Surat Penugasan Klinis Nomor YP.03.02/D.IX/15902/2024 oleh Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
”Sehingga tindakan endoskopi yang dilakukan oleh teradu (dokter P) merupakan kompetensi dan lingkup kewenangan profesional yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan teradu juga memiliki Surat Tanda Registrasi (STR),” kata Prasetyo.

Orang tua anak J, Adam Harits dan Nesya saat mendengarkan putusan MDP. Foto: Mirza M. Bagaskara/Pedeo Project
Begitu pula dengan poin pengaduan terkait praktik kedokteran yang tidak profesional karena dokter P yang menekan orang tua J secara arogan agar menyetujui tindakan endoskopi, Tim Pemeriksa Disiplin menyatakan tidak mempertimbangkan pokok pengaduan tersebut.
Tim Pemeriksa Disiplin berpegang pada Pasal 26 ayat (1) huruf a Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 50/2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi yang menyatakan “Pengaduan harus memenuhi syarat yaitu: a) hanya mengenai salah satu atau lebih dari Pelanggaran Disiplin Kedokteran yang diatur oleh KKI”.
”Sedangkan pokok pengaduan yang disampaikan oleh pengadu (orang tua J) yaitu “Teradu melakukan praktik kedokteran dengan tidak profesional” tidak tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi,” kata Prasetyo.
Menanggapi hal tersebut, orang tua J, Adam Harits mengaku kecewa dengan putusan Tim Pemeriksa Disiplin tersebut. Menurutnya, MDP sama sekali tidak mempertimbangkan fakta dan keterangan ahli pengadu. ”Percuma sidang sampai 6 kali, tapi ujung-ujungnya semua fakta kejadian, kesaksian, dan ahli kami tidak ada yang digubris sedikitpun,” kata Adam.
Selain itu, Adam juga menyoroti kehadiran anggota polisi dalam sidang putusan tersebut. “Putusan ini blak-blakan dan vulgar. Tak satu pun hakim berani menatap muka kami (pengadu, Red),” tambah Adam.
Untuk diketahui, anak J mengalami kebocoran usus pasca tindakan endoskopi oleh dokter P. Peristiwa ini bermula ketika orang tua pasien membawa J ke RSCM pada 28 Agustus 2024 untuk menjalani pemeriksaan karena J menolak makanan pendamping ASI (MPASI), sering muntah dan gumoh.
Singkat cerita, dokter P melakukan tindakan endoskopi terhadap anak J sebanyak dua kali. Nah, di tindakan endoskopi kedua, J mengalami kebocoran usus, sehingga mengakibatkan J dalam kondisi kritis dan harus menjalani operasi.
Kuasa hukum pengadu, M. Al Ayyubi Harahap juga menyayangkan putusan tersebut. Menurutnya aturan hukum yang menjamin keselamatan korban diabaikan oleh MDP. “MDP melegalisasi perbuatan teradu yang telah hampir membuat korban kehilangan nyawa. Penderitaan yang dialami korban seperti tidak ada artinya bagi mereka,” ujarnya.
















