“Kado” HUT TNI ke-80 dari KontraS: Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan & Menguatnya Militerisme

Kertas Kebijakan Hari TNI ke-80: Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan dan Menguatnya Militerisme.
JAKARTA, 3 Oktober 2025 – Di Hari TNI ke-80, KontraS merilis catatan yang menunjukkan kegagalan reformasi sektor keamanan dan menguatnya militerisme, terutama setelah diundangkannya UU TNI yang baru, yakni UU No. 3 Tahun 2025, Jumat (3/10/2025).
Dalam laporannya yang berbentuk policy paper, KontraS mencatat bahwa dari Oktober 2024–September 2025, terdapat 85 peristiwa kekerasan oleh prajurit TNI yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, dengan Pulau Papua sebagai episentrum kekerasan dengan 23 peristiwa.
Ragam peristiwa kekerasan tersebut di antaranya meliputi 38 tindak penganiayaan, 13 tindak penyiksaan, 19 intimidasi, dan 11 penembakan. Sebanyak 182 orang menjadi korban atas 85 peristiwa kekerasan tersebut, yang di antaranya 64 orang korban luka, dan bahkan 31 orang meregang nyawa.
Dalam keterangan persnya, KontraS menyebut mayoritas peristiwa kekerasan terjadi setelah berlakunya UU TNI yang baru, yakni UU Nomor 3 Tahun 2025.
“Mayoritas kekerasan terjadi pasca diundangkannya RUU TNI yang menggantikan UU TNI yang lama, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 menjadi UU Nomor 3 Tahun 2025 terkait revisi UU TNI. Sebanyak 53 peristiwa terjadi pasca UU TNI baru itu disahkan, atau proporsinya sebanyak 62,3 persen,” sebut Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, Jumat (3/10/2025).
KontraS menilai hal tersebut menjadi bukti sahih bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi adalah akibat dari diundangkannya UU TNI yang baru.
“Tindakan eksesif berlebihan yang dilakukan prajurit TNI itu terjadi justru setelah UU TNI yang lama digantikan dengan UU TNI yang baru, yang sejak awal diprotes keras oleh kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok warga lainnya karena dinilai menghidupkan kembali dwifungsi ABRI serta peran-peran militer yang mengganggu ruang-ruang sipil, dan juga semakin memberikan cek kosong bagi TNI untuk melakukan tindakan serampangan di ruang publik,” tegas Dimas.
KontraS menegaskan, peristiwa kekerasan yang terjadi merupakan akibat dari tindakan pengabaian terhadap aspirasi masyarakat sipil yang memberi perhatian terhadap terciptanya institusi TNI yang profesional.
Organisasi yang juga tergabung dalam Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan tersebut menyebut, revisi UU TNI seharusnya menjadi momentum yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan struktural TNI, seperti kesejahteraan prajurit, penghapusan kultur kekerasan, penguatan supremasi hukum dan nilai-nilai sipil dalam institusi TNI, serta reformasi sistem peradilan militer untuk menghentikan spiral impunitas yang mengakar dalam institusi TNI.
Adapun catatan kritis dari Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan terkait pokok-pokok perubahan dalam UU TNI baru yang disebut diabaikan adalah sebagai berikut:
- Perluasan jabatan sipil yang dapat ditempati oleh prajurit militer aktif.
- Perubahan mekanisme penetapan dan perluasan fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tidak lagi memerlukan keputusan politik.
- Perluasan dan penambahan kewenangan masing-masing mitra TNI.
- Penambahan usia pensiun bagi prajurit militer.
- Tidak adanya reformulasi peradilan militer dan penegakan yurisdiksi peradilan umum kepada prajurit TNI pelaku tindak pidana.
















