Setelah Buku Dikembalikan, Lokataru Minta Polda Metro Jaya Gentleman Meminta Maaf ke Publik

Buku "Gelombang Demokratisasi Ketiga" dan buku "Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua". Foto: Hasnu untuk Pedeo Project
JAKARTA, 4 Oktober 2025 – Lokataru Foundation mengapresiasi sikap penyidik yang telah mengembalikan 16 buku yang disita hampir sebulan dari kantor Lokataru saat melakukan penggeladahan pasca penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Delpedro Marhaen (Direktur Eksekutif Lokataru) dan Muzaffar Salim (Staf Lokataru Foundation) pada 1 September 2025 lalu.
Kendati demikian, Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru Foundation Hasnu mengatakan, pengembalian 16 buku milik Lokataru oleh Polda Metro Jaya menandai babak baru dalam ironi penegakan hukum di negeri ini.
“Setelah hampir sebulan 16 buku Lokataru ditahan penyidik usai penggeledahan kantor Lokataru dan kediaman Delpedro tanpa alasan yang masuk akal dan transparan, barang-barang intelektual tersebut akhirnya dikembalikan,” jelas Hasnu, Sabtu (4/10/2025).
Hasnu mengatakan, pengembalian sejumlah buku tersebut tanpa penjelasan, tanpa pertanggungjawaban, dan yang paling menyedihkan, kata dia, tanpa permintaan maaf kepada publik. “Mengapa buku-buku tersebut disita dan mengapa buku-buku tersebut dikembalikan?” ujar mantan kandidat Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) tahun 2024 tersebut.
Sejak awal, kata Hasnu, pihaknya memandang penyitaan buku oleh penyidik Polda Metro Jaya adalah bentuk kemunduran demokrasi. Ia mengatakan, buku bukan senjata, buku bukan alat subversif, melainkan buku adalah sarana berpikir, berekspresi, dan membangun nalar kritis masyarakat.
Maka dari itu, ketika aparat negara memperlakukan buku seolah barang berbahaya, Hasnu menyebut hal itu menyingkap satu persoalan serius, yakni ketakutan terhadap pemikiran.
Dia menekankan, kembalinya buku-buku tersebut, lanjut Hasnu, tidak serta-merta menghapus tindakan sewenang-wenang yang telah terjadi. Sebab, jelas Hasnu, yang dirusak bukan hanya hak milik, tapi juga integritas, reputasi, dan ruang aman kerja-kerja advokasi hukum dan hak asasi manusia yang Lokataru lakukan.
Apalagi, kata Hasnu, Lokataru adalah organisasi masyarakat sipil yang berdiri di garis depan membela mereka yang tertindas, memperjuangkan HAM, menjaga ruang sipil, serta mengawal demokratisasi ekonomi dan keadilan pekerja di Indonesia yang seyogyanya menjadi tanggungjawab negara.
Kini, lanjut Hasnu, Polda Metro Jaya dihadapkan pada satu pilihan moral yakni bersikap gentleman kepada publik. “Jika benar institusi kepolisian ingin memperbaiki citra dan mendapatkan kembali kepercayaan publik, maka sudah semestinya mereka menyampaikan permintaan maaf secara terbuka,” papar Hasnu.
Hasnu melanjutkan, permintaan maaf bukan tanda kelemahan kepolisian, melainkan keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya di masa depan. Hasnu berpandangan di situlah kehormatan sebuah institusi diuji. “Bukan ketika mereka menyita, tapi ketika mereka mampu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri,” imbuhnya.
Pun, Hasnu mendesak agar wacana reformasi kepolisian yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto maunpun reformasi internal Polri yang dikomandoi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memastikan standar pengembangan sumber daya manusia, peningkatan literasi, dan kapasitas intelektual kepolisian.
“Penyitaan buku yang tidak memiliki relevansi yang kuat terhadap konstruksi kasus yang tengah diproses, maka pertanda minimnya literasi di tingkatan penyidik. Lokataru mendorong agar reformasi Polri memperhatikan terhadap standar literasi kepolisian,” jelas Hasnu.
Untuk diketahui, total 16 buku yang disita dari kantor Lokataru dan keadiaman Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen, yakni sebagai berikut:
- Gelombang Demokratisasi Ketiga, Samuel P. Huntington (1995)
- Prabowo dan Tantangan Penyelesain Konflik Papua, Socratez Sofyan Yoman (2024)
- Mosaik Cenderawasih: Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua, Adriana Elisabeth (2020)
- Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma, dan Separatisme, Amiruddin Al Rahab (2010)
- Jangan Lepas Papua: Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di Papua; Sebuah Kajian Hukum Humaniter dan Hukum HAM, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto (2014)
- Manifesto Untuk 99%, Gabungan Kiri Malaysia (2017)
- Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecahkan Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, Socratez Sofyan Yoman (2012)
- Negeri Pelangi: Catatan Perjalanan Duta Reggae Indonesia ke Etiopia, Dimas Setyo Nugroho, Ras Muhamad (2017)
- Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia, Ihsan Ali Fauzi dkk (2017)
- Buletin Zaman Gelap: Menuju Kegelapan Negara yang Niscaya
- Malaysia Human Rights Report 2024: Civil and Political Right (2025)
- Nasionalisme Ganda Orang Papua, Bernarda Meteray ( 2012)
- Buku Saku: Get To Know, Your Rights and Power Police
- Buku Saku: Kenali Hak Anda dan Polisi: Apa yang Anda Perlu Tahu Bila Berhadapan Dengan Polis, Suara Rakyat Malaysia
- Akar Umbi: Kisah Perjuangan Rakyat Menentang Ketamakan Kapitalis, D. Letchimi Devi
- Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Gerry Van Klinken (2017)
















