Mengayuh Sepeda Ratusan Kilometer, Narendra Gaungkan Pesan “Menolak Lupa”

Narendra Wicaksono bersepeda ratusan kilometer sembari menggaungkan pesan “menolak lupa”. Foto: Narendra Wicaksono untuk Pedeo Project
BALI, 6 Oktober 2025 – Milan Kundera pernah menulis, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan menolak lupa.” Mungkin itulah yang dilakukan Narendra Wicaksono (28), yang akrab disapa Rendra, seorang pemuda yang memilih mengayuh sepeda sejauh ratusan kilometer untuk merawat ingatan atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama atas apa yang terjadi pascademonstrasi Agustus–September lalu, ketika sepuluh orang tewas dan ratusan lainnya masih ditahan hingga saat ini.
“Aksi ini aku persembahkan untuk mereka yang gugur dalam aksi massa akhir Agustus, dan juga untuk mereka, para pejuang demokrasi yang masih ditahan karena penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian,” ujar Rendra kepada Pedeo Project, Senin (6/10/2025).
Sejak 24 September, Rendra memulai perjalanan dari Jawa Tengah menuju Bali. Dalam setiap perhentiannya, ia menyempatkan diri untuk berdoa dan bersolidaritas dengan warga setempat. “Setiap kayuhan adalah sikap mengingat,” katanya.
Sesampainya di Kediri, ia menyempatkan diri untuk menjenguk para pejuang demokrasi yang ditahan. Namun, sayangnya niat itu dihalang-halangi oleh aparat setempat. “Bahkan hanya untuk mengirim surat kepada mereka saja aku tidak bisa,” ucapnya lirih.
Perjalanan kemudian berlanjut ke Malang. Di sana, ia berhenti di Stadion Kanjuruhan, tempat 135+ orang meregang nyawa karena gas air mata. “Di sana aku berdoa dan mengheningkan cipta di Gerbang 13, sebuah lokasi yang paling mematikan saat tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 terjadi,” tuturnya pelan.
Sebelumnya, pemuda kelahiran Klaten itu juga sempat melakukan aksi bersepeda untuk menyuarakan dan meminta dukungan kepada warga internasional di tujuh negara terkait Tragedi Kanjuruhan. “Ya, walaupun sekarang keadaannya masih sangat begitu pelik,” ucapnya dengan kecewa.

Narendra Wicaksono mampir di Stadion Kanjuruhan, Malang sembari menggaungkan pesan “menolak lupa”. Foto: Narendra Wicaksono untuk Pedeo Project
Hingga hampir empat tahun, para korban Tragedi Kanjuruhan belum juga mendapat keadilan. Para pelaku dihukum ringan, dan bahkan parahnya, peristiwa yang menewaskan ratusan orang itu belum juga ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM berdalih, unsur sistematis dan meluas sebagai syarat pelanggaran HAM berat tidak terpenuhi pada peristiwa itu.
Dari Malang, Rendra melanjutkan kayuhannya ke Lumajang, melewati jalur curam dengan elevasi lebih dari 1.100 meter. Di sana, ia berhenti di Desa Selok Awar-awar. “Sebuah desa yang menjadi saksi bisu bagaimana oligarki tambang membunuh seorang aktivis petani bernama Salim Kancil,” ucapnya.
Bersama Pak Baiman, adik Salim Kancil, Rendra berziarah ke makam Salim Kancil, yang nisannya mulai tertutup oleh tanah dan debu. “Aku bahkan harus menyemprotkan botol minum sepedaku untuk membersihkan makam, hanya untuk melihat namanya,” tuturnya. Pemuda itu tidak percaya, aktivis segigih Salim Kancil mulai dilupakan namanya.
Setelah menempuh ratusan kilometer, Rendra akhirnya tiba di Patung Bayi di Banjar Sakah, Bali. “Patung itu dikenal warga sebagai simbol kelahiran dan harapan,” ucapnya. Di titik itu, ia menutup perjalanannya.
“Aku berharap semua kesedihan dan mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap tidak ada lagi orang tua yang menangis karena anak-anaknya pergi dan tidak kembali pulang. Semoga demokrasi, kemanusiaan, dan hak asasi manusia akan dimenangkan,” ucapnya penuh harap.
















