16 Tahun Berjuang Melawan Penggusuran Paksa, Warga Kampung Semper: Kita Menang!

0
164

JAKARTA, 10 Oktober 2025 – Warga Kampung Semper, Cilincing Jakarta Utara memenangkan gugatan melawan penggusuran paksa sejak 2009. Melalui Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 688/PK/Pdt/2025 gugatan warga dikabulkan pada 13 Agustus 2025. Jadi, sudah 16 tahun perjuangan warga melawan upaya penggusuran ini.

Sebelumnya, pada tahun 2009 silam warga Kampung Semper pernah mengajukan gugatan class action atas penggusuran paksa yang berdampak terhadap 77 kepala keluarga. Dalam melayangkan gugatan itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta turut membersamai warga.

Warga sendiri semenjak 1998 telah menggarap tanah ini untuk aktivitas pertanian dan perkebunan. Tindakan penggusuran paksa pertama kali terjadi pada tahun 2008. Upaya ini dilakukan dengan dalih pembangunan Rusunami, Pembersihan Saluran Sungai/Kali Cakung Lama, dan penertiban bangunan tanpa izin.

Selain itu, warga juga kembali mengalami upaya penggusuran lain pada 18 November 2009. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 03.00-05.00 WIB dini hari saat kondisi masih gelap dan hujan. Tindakan penggusuran ini juga melibatkan anggota kepolisian dan Satpol PP.

Menurut catatan LBH Jakarta, untuk saat ini lokasi tersebut telah berubah menjadi bangunan-bangunan garasi container untuk kepentingan bisnis. Hal ini dinilai berbeda jauh dengan rencana awal penggusurannya.

“Kondisi sudah berubah. Seharsunya kabar ini menjadi kabar gembira. Terdapat sebagian warga yang telah berpindah dan meninggal dunia. Kami juga turut berduka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga korban yang ditinggalkan,” tulis keterangan LBH Jakarta.

Negara Dinyatakan Bersalah

Majelis Hakim melalui putusan perkara nomor 688/PK/Pdt/2025 menyatakan Gubernur DKI Jakarta, Walikota Jakarta Utara, Kepala Suku DInas Ketentraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat Jakarta Utara telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Selain itu, mereka pun diwajibkan untuk membayar ganti rugi selama terjadinya penggusuran paksa dan memasukkan alokasi ganti ruginya dalam APBD satu tahun berikutnya.

Kemudian, majelis hakim juga menegaskan bahwa berdirinya bangunan warga sejak 1998 tidak melanggar aturan. Sebab, peraturan izin mendirikan bangunan baru terbit tahun 2002, sementara warga sudah menggarap lahan semenjak 1998.

Pemerintah daerah pun dinilai telah lalai memelihara tanah tersebut. Menurut LBH Jakarta, hal ini dapat menjadi contoh bagi kasus penggusuran lainnya bahwa warga tidak boleh diusir sewenang-wenang.

“Bagi banyak warga miskin kota, putusan ini bisa jadi harapan baru. Bahwa penggusuran paksa tidak bisa lagi dibenarkan atas nama pembangunan. Bahwa warga, sekecil apapun suaranya, akan terus melawan meski harus menunggu belasan tahun,” tulis keterangan LBH Jakarta.

Leave a reply