TAUD Beber Pelanggaran Prosedur, Polda Metro Akui Tangkap Delpedro Tanpa Surat Panggilan

0
174

JAKARTA, 20 Oktober 2025 Polda Metro Jaya meminta hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak Praperadilan yang diajukan oleh tersangka kasus dugaan penghasutan terkait demonstrasi Agustus lalu yakni Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen. Permohonan yang sama juga diajukan Polda Metro Jaya untuk perkara Praperadilan Staf Lokataru Foundation Muzaffar Salim dan admin @gejayanmemanggil Syahdan Husein. Sidang Praperadilan ketiganya digelar secara terpisah.

“Bahwa termohon menyatakan dengan tegas agar kiranya Yang Mulia hakim tunggal Praperadilan menolak permohonan Praperadilan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anggota Bidang Hukum Polda Metro Jaya AKBP Iverson Manossoh saat membacakan jawaban termohon atas permohonan pemohon, di PN Jakarta Selatan, Senin (20/10).

Iverson mengatakan proses penegakan hukum termasuk penetapan tersangka terhadap Delpedro sudah dilakukan sesuai dengan prosedur. Kata dia, surat penetapan tersangka nomor: STap/S-4/1539/VIII/2025/Ditreskrimum Polda Metro Jaya sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

“Bahwa termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka sudah memenuhi Pasal 184 ayat 1 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21-PUU/XII/2014 tanggal 24 April 2015 dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dengan melakukan mekanisme gelar perkara,” imbuhnya.

Sementara itu, Anggota Bidang Hukum Polda Metro Jaya Iptu Jandri mengatakan ada sejumlah pelajar yang terhasut untuk berdemonstrasi pada akhir Agustus 2025. Hasutan itu disebut satu di antaranya berasal dari akun Instagram Lokataru Foundation yang dikelola Delpedro.

Setidaknya terdapat 5 pelajar di bawah umur yang ditangkap dalam salah satu aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR RI, berinisial IAH, CDF, AF, ARA dan MR.

Dari hasil pemeriksaan, para pelajar itu disebut mengaku mengikuti unjuk rasa karena terhasut unggahan yang tersebar di media sosial.

“Mereka mengikuti aksi unjuk rasa di Gedung DPR/MPR yang berlangsung anarkis setelah melihat konten yang berisi ajakan aksi unjuk rasa yang diunggah di media sosial,” ungkap Jandri.

Penyidik lantas melakukan pemantauan dan patroli siber di media sosial untuk mencari akun-akun yang membuat para pelajar itu terhasut. Dari temuan polisi, ditemukan 9 akun yang mengunggah ajakan untuk mengikuti demonstrasi.

“Salah satu akun dari 9 akun Instagram tersebut diketahui adalah Lokataru Foundation,” imbuhnya.

Selain itu, ada dua pelajar lain berinisial BSJL dan FA yang juga turut ditangkap. Menurut polisi, keduanya mengikuti demonstrasi dengan membawa senjata tajam.

“Kemudian dari laporan pelaksanaan tugas ini didapatkan informasi bahwa para pelajar tersebut tergerak mengikuti aksi unjuk rasa setelah melihat konten berisikan ajakan aksi unjuk rasa yang diunggah pada platform Instagram oleh akun Blok Politik dan Lokataru Foundation,” tutur Jandri.

Dari sejumlah temuan tersebut, Jandri mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan sejumlah pelajar yang terhasut untuk ikut demonstrasi. Pada akhirnya, Delpedro Cs ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

Tanpa Panggilan & Pemeriksaan Calon Tersangka

Polda Metro Jaya mengakui penangkapan terhadap Delpedro tanpa didahului dengan mekanisme pemanggilan lewat surat. Delpedro pun begitu Muzaffar dan Syahdan belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka.

Jandri menjelaskan pihaknya sudah lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga menetapkan Delpedro Cs sebagai tersangka kasus dugaan penghasutan terkait demonstrasi Agustus lalu.

“Termohon (Polda Metro Jaya) yang sebelumnya telah melakukan rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan hingga ditetapkannya pemohon sebagai tersangka,” ungkap dia.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Delpedro Cs langsung dilakukan penangkapan paksa. Menurut Jandri, hal tersebut sebagai bentuk diskresi kepolisian.

“Telah melakukan penangkapan terhadap tersangka tanpa dilakukan pemeriksaan calon tersangka dan tanpa dengan adanya terlebih dahulu surat panggilan karena dikhawatirkan menghilangkan barang bukti. Oleh karena itu, termohon melakukan diskresi kepolisian,” ucap dia.

Diskresi dimaksud disebutnya diatur dalam Prosedur Tetap (Protap) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis.

“Dalam Protap ini kepolisian diperbolehkan untuk melakukan tindakan diskresi untuk membela diri atau keluarga terhadap ancaman atau luka parah segera terjadi; untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri. Oleh karena itu, termohon melakukan penangkapan,” ucap Jandri.

Diskresi kepolisian itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mensyaratkan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

Sementara Putusan MK 21/2014 menyempurnakan aturan tersebut dengan menyarankan pemeriksaan calon tersangka untuk memastikan transparansi dan hak asasi manusia yang terlindungi.

Adapun demonstrasi atau ajakan untuk ikut berdemonstrasi di negara hukum seperti Indonesia bukan sesuatu yang dilarang. Aktivitas tersebut dilindungi oleh konstitusi. Mengenai orang menjadi terhasut dan melakukan tindakan anarkis, itu di luar kuasa yang mengajak.

Dalam sidang ini, Polda Metro Jaya membeberkan tiga alat bukti yang disebut menguatkan tindak pidana yang dilakukan Delpedro Cs. Dua di antaranya adalah keterangan saksi yang saling bersesuaian dan keterangan ahli.

Ragukan Alat Bukti

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) meragukan bukti permulaan yang disampaikan oleh Bidang Hukum Polda Metro Jaya. Pasalnya, Anggota TAUD Fandi Denisatria mengatakan Polda Metro Jaya tidak memberikan informasi secara utuh terkait waktu pengambilan keterangan saksi yang dijadikan sebagai barang bukti.

”Pemohon tidak menemukan informasi yang jelas tentang waktu atau kapan 22 orang saksi diperiksa. Apakah pemeriksaan dan pengambilan keterangan saksi dilakukan pada tanggal 29 Agustus atau 30 Agustus atau sebelum menetapkan pemohon sebagai tersangka,” ujar Fandi dalam sidang replik.

Atas dasar itu, TAUD sulit untuk menyimpulkan kesahihan alat bukti dalam hal ini keterangan saksi sebagaimana disinggung Bidang Hukum Polda Metro Jaya dalam jawabannya. Senada, TAUD juga meragukan keterangan ahli yang dijadikan alat bukti untuk menetapkan Delpedro Cs sebagai tersangka.

Polisi Gagal Paham Putusan MK

Lebih lanjut, TAUD menilai diskresi kepolisian yang digunakan sebagai pembenar dalam menetapkan tersangka telah secara jelas bertentangan dengan Putusan MK 21/2014 yang pada pokoknya menyatakan pemeriksaan terhadap seseorang harus dilakukan sebelum menyematkan status tersangka.

Dalam penggunaan diskresi tersebut, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

“Maka, tidak beralasan menurut hukum jika termohon menggunakan alasan diskresi dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu diperiksa sebagai calon tersangka,” ungkap Fandi.

Sementara itu, TAUD yang juga mendampingi pemohon Muzaffar Salim mengkritik prosedur yang dilakukan aparat kepolisian saat melakukan penangkapan. Anggota TAUD M. Nabil Hafizhurrahman menerangkan aparat kepolisian yang menangkap Muzaffar memang sempat menunjukkan sejumlah surat, namun tidak dijelaskan secara detail mengenai tujuannya.

“Bukti surat memang ditunjukkan namun tidak dijelaskan itu judul suratnya apa, alasannya apa, permasalahan apa itu tidak dijelaskan. Hanya melihatkan dokumen. Bahkan kita enggak tahu itu surat apa bentuknya,” kata Nabil.

Sementara Anggota TAUD Alif Fauzi Nurwidiastomo yang memegang Praperadilan Syahdan mengatakan Polda Metro Jaya telah gagal dalam memahami esensi dari Putusan MK 21/2014. Dia mengatakan Polda Metro Jaya hanya menekankan pada amar putusan dengan mengesampingkan bagian pertimbangan hakim konstitusi. Menurut dia, bagaimanapun putusan dan pertimbangan MK merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penegak hukum khususnya penyidik Polda Metro Jaya.

“Sehingga mereka tidak menekankan bahwa para tersangka atau para tahanan politik ini belum diperiksa sebagai calon tersangka, yang dalam praktiknya penetapan tersangka dilakukan terlebih dahulu baru kemudian mereka diperiksa dalam sebuah pemeriksaan atau Berita Acara Pemeriksaan,” ungkap Alif. (Ndra)

Yasyri N. M berkontribusi dalam artikel ini.

Leave a reply