Alasan Di Balik Penolakan Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Dari Peristiwa 65 hingga Tragedi 98

0
104

JAKARTA, 3 November 2025 – Upaya pemberian gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto terus mendapat penolakan. Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyatakan penolakannya dalam konferensi pers di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, pada Senin (3/11).

“Tidak ada keraguan sedikit pun bagi kami untuk tetap menolak Soeharto sebagai pahlawan,” tegas Andrie, Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS.

Andrie menyebut, pemberian gelar pahlawan merupakan salah satu penghargaan tertinggi yang seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan, menjaga keutuhan, dan yang paling penting, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta moralitas.

Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, lanjut Andrie, justru bertolak belakang dengan fakta-fakta yang telah tersaji di hadapan publik, baik bersumber dari masyarakat sipil maupun dokumen-dokumen negara.

“Bahwa menjadi fakta, kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itu terjadi dan dilakukan dengan sengaja oleh Soeharto dan kroni-kroninya,” tegas Andrie.

Dalam menjalankan kekerasan, lanjutnya, rezim Orde Baru memiliki mesin represif yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ia menyebut, hal tersebut berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, hingga perampasan tanah dan diskriminasi sosial.

Andrie pun merinci sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Soeharto berdasarkan dokumen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kasus-kasus tersebut meliputi peristiwa 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) pada 1982–1988, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong pada 1989–1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997–1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II pada 1998–1999, peristiwa kerusuhan Mei 1998, hingga pembunuhan dukun santet pada 1998–1999.

Ia juga menyoroti kasus pembunuhan aktivis buruh perempuan Marsinah, peristiwa Kudatuli, pembantaian Santa Cruz, hingga penggusuran warga dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

“Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya para perempuan korban kekerasan negara dan korban pelanggaran berat HAM lainnya,” jelas Andrie.

Soeharto, tegas Andrie, juga tidak memiliki integritas moral dan keteladanan sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 25B Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.

Ia juga menyoroti absennya partisipasi publik dalam upaya pemberian gelar tersebut. “Negara mengesampingkan partisipasi publik, mengesampingkan suara-suara penolakan terhadap gelar pahlawan Soeharto,” ungkapnya. Padahal, Andrie menyebut penolakan itu telah didukung hampir 12 ribu orang melalui platform Change.org.

Menanggapi Pernyataan Mensetneg

Ardhi Manto Putra, Direktur Imparsial, dalam kesempatan yang sama menyampaikan penolakannya dengan menanggapi pernyataan Prasetyo Hadi, Menteri Sekretaris Negara, terkait tiga alasan mengapa Soeharto perlu diberikan gelar pahlawan.

Pertama, Prasetyo beralasan bahwa sebagai mantan presiden, Soeharto layak diberikan gelar pahlawan karena dianggap memiliki jasa. Ardhi secara tegas menyebut, tidak semua mantan presiden harus diberikan gelar pahlawan, terlebih jika dosanya lebih besar dari jasanya.

Ia juga menyoroti kepemimpinan Soeharto dalam rezim Orde Baru yang dimulai dan diakhiri dengan peristiwa berdarah. “Era kepemimpinan Soeharto adalah era kekerasan. Politik era Orde Baru adalah politik kekerasan,” tegasnya.

Kedua, Ardhi mengkritik pernyataan Prasetyo yang menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional. Menurutnya, apabila demikian, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dengan memberikan ganti rugi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan politik Orde Baru.

“Bukan dengan memberikan gelar pahlawan kepada orang yang justru diduga bertanggung jawab atas berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu,” ujarnya.

Terakhir, Ardhi menanggapi pernyataan Prasetyo yang menyebut bahwa pemberian gelar telah melalui sejumlah tahapan. Padahal, menurutnya, suara para korban sama sekali tidak dilibatkan dalam proses tersebut. “Masyarakat Indonesia, atau publik secara umum, juga tidak dilibatkan,” tambahnya.

Penolakan oleh Korban

Bagi Uchikowati Fauzia, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah penghinaan bagi para korban tragedi 1965. Sebagai penyintas, ia menceritakan alasan penolakannya terhadap penganugerahan gelar tersebut.

Uchi, panggilan akrabnya, merupakan korban generasi kedua tragedi 1965. Ayahnya adalah Bupati Cilacap periode 1958–1965, Djauhar Arifin Santosa, yang ditahan pihak militer karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S). Tidak hanya ayahnya, ibu dan beberapa anggota keluarga dari pihak ayah juga ditahan atas tuduhan yang sama.

Uchi menceritakan, saat itu usianya baru 13 tahun. Sebagai seorang anak, ia dipaksa hidup tanpa kedua orang tuanya. “Saat itu saya masih 13 tahun, saya harus ditinggalkan oleh kedua orang tua saya. Ayah saya, ibu saya ditahan,” ungkapnya.

Uchi bukan satu-satunya. Ia menyebut jutaan anak lainnya juga hidup dalam penderitaan akibat tragedi ‘65. Mereka kehilangan orang tua, harus hidup berpindah dan dititipkan di keluarga lain, bahkan kehilangan segalanya, bukan hanya orang tua, tetapi juga rumah dan masa depan. “Sebagai anak PKI, Gerwani itu bukan hal yang mudah,” tuturnya.

Ia menceritakan bagaimana pada saat itu Orde Baru melucuti hak-hak warga negara keluarga korban ‘65. Uchi menuturkan, hanya sebagian kecil yang bisa bersekolah, itupun disebutnya karena beruntung. Anak-anak keluarga ‘65, lanjut Uchi, tidak bisa menjadi pegawai negeri, tidak bisa menjadi guru, tidak bisa menjadi wartawan, sekalipun anak itu lulusan sekolah jurnalistik.

“Anaknya pandai, tapi kalau itu anak PKI dan Gerwani, jangan harap dia bisa mendapatkan tempat yang baik untuk pekerjaannya. Bahkan mungkin tidak bisa bekerja,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bagaimana tentara pada waktu itu menghancurkan perempuan, sesuatu yang disebutnya masih berlangsung hingga saat ini. Uchi menuturkan bahwa keluarga dari Gerwani, bahkan hingga generasi ketiga dan keempat, masih harus menanggung stigma akibat narasi yang dibangun pemerintah Orde Baru terhadap Gerwani.

“Padahal Gerwaninya sudah tidak ada, sudah dibubarkan. Orang-orang atau perempuan yang ikut menjadi anggota Gerwani pun sudah meninggal,” ujar Uchi.

Ia menyebut stigma dan trauma itu masih menyelimuti para korban hingga hari ini. Negara, lanjut Uchi, hingga detik ini tidak pernah memberikan pemulihan kepada para korban.

Uchi juga menegaskan bahwa kekejaman Orde Baru tidak berhenti pada peristiwa 1965. Ia menyoroti sejumlah tragedi setelahnya, seperti peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, hingga kekerasan di Aceh, yang juga tidak pernah diungkap fakta dan kebenarannya. Karena itu, menurutnya, peristiwa kekerasan terus berulang hingga hari ini.

“Karena di luar sana, banyak orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya telah menimpa sebagian bangsa Indonesia,” jelasnya.

Penolakan Soeharto menjadi pahlawan nasional juga datang dari Syaiful Hadi, salah satu korban selamat dari tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984, era pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto.

Syaiful menerangkan, pembantaian yang dilakukan oleh TNI dalam peristiwa itu berakar dari upaya penyeragaman ideologi melalui pemaksaan asas tunggal pancasila oleh pemerintah Orde Baru.

Saat itu, penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, seperti yang terjadi di Tanjung Priok, berujung pada tindakan represif militer yang menembaki warga sipil dengan peluru. Sebagai salah satu korban selamat, Syaiful menceritakan dirinya justru malah ditangkap dan diadili setelah tragedi pembantaian tersebut.

Mewakili korban tragedi Tanjung Priok lainnya, Syaiful menilai diangkatnya Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bentuk pengkhianatan terhadap para korban. Alih-alih menuntaskan berbagai pelanggaran HAM secara adil, ia menilai pemerintah justru melakukan hal-hal yang berlawanan dengan semangat keadilan bagi korban.

”Saya mewakili korban pembantaian Tanjung Priok, bahwa kami di sini menolak keras dengan diangkatnya Soeharto sebagai pahlawan nasional,” tegas Syaiful.

Impunitas Sempurna

Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dinilai sebagai bentuk impunitas sempurna oleh Kania Mamonto dari Asia Justice and Rights (AJAR) Indonesia. Ia menilai upaya tersebut mengabaikan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di bawah rezim militerisme Orde Baru yang tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga meluas hingga Aceh, Papua, dan Timor Leste.

“Jadi sangat jelas bahwa hari ini adalah wajah impunitas yang paling jelas, paling tebal sepanjang hidup kita,” ujar Kania.

Di Timor Leste, Kania mengungkap bagaimana militer Indonesia di bawah komando Soeharto melakukan okupasi dan bahkan membunuh presiden kedua Timor Leste, Nicolau Lobato, dengan Prabowo sebagai salah satu prajuritnya, meski ketika itu Timor Leste sudah memiliki pemerintahannya sendiri. Ia juga turut menyoroti praktik stolen children yang terjadi saat penundukan Indonesia terhadap Timor Leste.

“Soeharto mengambil anak-anak kecil yang kita biasa bilang sebagai stolen children yang jumlahnya diperkirakan ribuan dan juga memisahkan mereka dari keluarga mereka di Timor Leste. Mereka berpindah dari Timor Leste, diambil oleh tentara, diambil oleh yayasan pendidikan untuk ke Indonesia,” ungkap Kania.

Hal itu, menurut Kania, adalah bentuk penundukan dari konflik di Timor Leste, meski mengatasnamakan pendidikan. Ia menambahkan, pemerkosaan juga dijadikan sebagai alat penundukan, yang menyebabkan setidaknya 400 perempuan menjadi korban dan terpaksa hidup dengan stigma hingga saat ini di Timor Leste.

Di Aceh, Orde Baru di bawah otoritas Soeharto menguasai Arun bersama Mobil Oil untuk kepentingan elite politik di Jakarta dan memperkaya keluarga Cendana tanpa mengembalikannya kepada rakyat Aceh. “Itulah kenapa kita tahu ada Gerakan Aceh Merdeka,” ujar Kania. Setelah itu, Soeharto melakukan kekerasan struktural selama masa Darurat Operasi Militer (DOM) di Aceh.

Bicara Soeharto, lanjut Kania, tidak mungkin jika tidak membicarakan Papua. Ia memaparkan bagaimana Papua juga tidak lepas dari cengkeraman rezim militerisme Orde Baru di bawah Soeharto melalui eksploitasi Freeport, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), serta upaya meredam berbagai bentuk ekspresi orang Papua untuk menjadi diri mereka sendiri, menjadi orang Papua.

“Bagaimana mungkin seorang pelaku yang membuat penderitaan rakyat Papua, Timor Leste, hingga Aceh, alih-alih mendapatkan penghukuman dan melakukan pertanggungjawaban, malah mendapatkan gelar pahlawan nasional yang adalah melanggengkan budaya impunitas, karena Soeharto adalah wajah impunitasnya,” tegas Kania.

Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan tanpa proses hukum atau akuntabilitas yang memadai, jelas Kania, melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Ia menegaskan, penghormatan nasional seperti gelar pahlawan harus dijalankan dengan integritas sejarah dan keadilan bagi korban.

Hal yang sama juga diungkap oleh Chairil Halim dari Amnesty International Indonesia. Menurutnya, upaya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan bentuk ekosistem impunitas sempurna.

“Keputusan finalnya ada di Istana, Dewan Gelarnya diisi oleh orang yang pernah menjadi bagian dari keluarga Soeharto, dan ketua Dewan Gelarnya adalah orang dekat Prabowo,” terangnya.

Tidak hanya itu, Chairil juga menilai ada upaya sistematis untuk membersihkan dosa-dosa Soeharto di era rezim Prabowo, mulai dari penulisan sejarah ulang, penyangkalan Fadli Zon terhadap adanya pemerkosaan massal tahun 1998, hingga penghapusan Tragedi 1998 dari kategori pelanggaran HAM berat.

Merisa Dwi Juanita dari Setara Institute juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan adalah langkah yang sistematis. Ia menyoroti pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang dilakukan sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden.

“Maka kami lihat bahwa pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan darah dan pelanggaran HAM yang jelas,” tegasnya.

Hingga hari ini, lanjutnya, Soeharto tidak bertanggung jawab atas tindak pidana korupsinya. Padahal, Mahkamah Agung melalui keputusan Nomor 140 Tahun 2025 telah menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar Rp4,4 triliun (dengan kurs saat itu).

Soeharto juga disebut tidak pernah bertanggung jawab atas dakwaan terkait penerbitan sejumlah peraturan dan keputusan presiden yang menguntungkan sedikitnya tujuh yayasan di bawah kepemimpinannya, yang dananya mengalir ke 13 perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga dan kroni Cendana.

Merisa juga menyoroti dampak dari diberlakukannya dwifungsi ABRI yang hingga saat ini masih dirasakan. “Maka benar bahwa ini adalah impunitas yang sempurna,” tegasnya.

Leave a reply