Partisipasi Publik jadi Sorotan dalam Pembahasan RKUHAP di Komisi III DPR

JAKARTA, 29 September 2025 – Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali digelar Komisi III DPR RI melalui agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Senin (29/9/2025). Sejumlah lembaga diundang dalam RDPU dan dimintai masukan tentang RKUHAP. Salah satunya Lokataru Foundation.
Di balik pembahasan RKUHAP tersebut, Lokataru menyoroti lemahnya asas partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan yang krusial ini. Hal itu merujuk pada hasil survei yang dilakukan Lokataru.
Dimana 94,7% responden merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi KUHAP, sementara 92,5% menyatakan ingin mengetahui lebih banyak soal RKUHAP. Fakta ini disebut bertolak belakang dengan semangat demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan.
“Pembahasan RKUHAP tidak hanya urusan pakar hukum, advokat, atau aparat penegak hukum. Setiap warga, dari tukang becak hingga mahasiswa, punya potensi berhadapan dengan aparat. Karena itu, mereka berhak terlibat sejak awal,” tegas Fauzan Alaydrus, peneliti Lokataru.
Masih dalam temuan survei Lokataru, Fauzan menambahkan partisipasi publik belum menjangkau sejumlah daerah di Indonesia. Ia pun menegaskan bahwa hal tersebut harusnya menjadi refleksi pemangku kebijakan.
“Banyak sekali teman-teman di daerah, anak-anak muda, mahasiswa yang tak pernah tahu RKUHAP ini apa. Maka dari itu partisipasi publik ini harus digencarkan. Mungkin setelah RDPU ini bisa lebih baik,” ujar mahasiswa Universitas Trisakti tersebut.
Sorotan tentang RKUHAP juga datang dari Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka menegaskan, pelibatan kelompok rentan selama ini masih bersifat formalitas. Kehadiran Komisi Nasional Disabilitas (KND) dinilai tidak bisa menggantikan suara langsung organisasi penyandang disabilitas.
“Partisipasi bermakna tidak bisa direduksi hanya dengan menghadirkan KND. Penyandang disabilitas harus dilibatkan secara langsung karena mereka yang mengalami hambatan dan diskriminasi di lapangan,” ujar perwakilan koalisi disabilitas nasional.
Koalisi ini bahkan merinci sejumlah pasal bermasalah, seperti definisi saksi yang diskriminatif hingga Pasal 208 yang melemahkan kesaksian penyandang disabilitas mental. Menurut mereka, lemahnya pelibatan sejak awal membuat masalah-masalah mendasar itu lolos dalam draf RKUHAP.

Suasana RDPU di Komisi III DPR RI yang sedang membahas RKUHAP, Senin (29/9/2025). Foto: Mirza M. Bagaskara/Pedeo Project
Kritik Akademisi Universitas Brawijaya: Hukum Harus Responsif
Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya I Nyoman Nurjaya juga mengingatkan pentingnya membangun hukum acara pidana yang responsif terhadap dinamika masyarakat. Ia menekankan, pembahasan RKUHAP bukan hanya soal prosedur, tetapi juga cerminan bagaimana negara memperlakukan warganya.
“Hukum itu harus menggali nilai-nilai keadilan dari masyarakat. Kalau partisipasi publik lemah, RKUHAP berisiko kehilangan legitimasinya sebagai hukum nasional yang humanis dan pro-hak asasi manusia,” ujar Nyoman.
Menanggapi desakan itu, pimpinan rapat Komisi III DPR RI Habiburokhman berjanji memperluas ruang partisipasi publik, termasuk membuka kesempatan bagi masyarakat sipil untuk menyerahkan masukan tertulis. DPR juga menyatakan akan mendalami isu partisipasi bermakna tersebut.
Namun, sejumlah pihak menilai, janji itu dianggap belum cukup. Beberapa aktivis masyarakat sipil menilai proses legislasi harus benar-benar transparan, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan sekadar formalitas rapat dengar pendapat.
“Kalau asas partisipasi publik hanya dipenuhi di atas kertas, maka RKUHAP ini berpotensi lahir sebagai produk hukum yang elitis dan jauh dari kebutuhan masyarakat,” sebut salah seorang peserta di ruang rapat tersebut.
















