Diundang RDPU Komisi III DPR, Lokataru: Penangkapan dan Penahanan 959 Orang Harus Jadi Refleksi

0
91

JAKARTA, 29 September 2025 – Lokataru Foundation menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI tanpa kehadiran direktur mereka, Delpedro Marhaen. Dalam RDPU tersebut, Lokataru memberi masukan terkait Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Delpedro tidak bisa hadir dalam RDPU tersebut lantaran sedang ditahan di Polda Metro Jaya. Selain Delpedro, staf Lokataru Muzaffar Salim juga berada dalam tahanan. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka terkait aksi demonstrasi pada Agustus-September 2025.

Dalam RDPU tersebut, Lokataru menegaskan pentingnya melakukan refleksi terhadap proses penangkapan serta penahanan sejumlah aktivis dan massa dalam aksi ricuh Agustus-September lalu. Dalam agenda tersebut, Lokataru memaparkan tiga catatan penting sebagai masukan dalam pembahasan RKUHAP, yaitu hakim komisaris, standarisasi penahanan, serta penyidik utama.

Tiga catatan tersebut merupakan refleksi dari pengalaman langsung mereka, yakni penangkapan terhadap Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim.

Pada poin hakim komisaris, Lokataru menekankan pentingnya kehadiran dan penguatan hakim komisaris di tengah maraknya kasus salah tangkap, penyiksaan oleh aparat, serta kriminalisasi aktivis.

“Penguatan hakim komisaris ini harus betul-betul diperhatikan karena kami menjadi korban. Kami mempunyai bukti faktual dan merasakan sendiri bagaimana upaya paksa dilakukan tanpa adanya lembaga pengawas independen,” tegas Fauzan Alaydrus, staf Lokataru dihadapan pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI.

Fauzan menambahkan, penangkapan Delpedro pada pukul 22.30 tanpa bukti yang cukup, tanpa crosscheck, dan tanpa prosedur yang sesuai menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap upaya paksa oleh aparat penegak hukum.

Poin kedua adalah standarisasi penahanan. Lokataru menyoroti akses keluarga serta bantuan hukum yang dibatasi, terutama dalam kasus penahanan aktivis pascademonstrasi Agustus lalu. Karena itu, mereka menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam proses penahanan.

“RKUHAP seharusnya bisa mengatur standar perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa di dalam sel. Karena banyak sekali kekerasan dan penyiksaan terjadi saat di dalam sel kepolisian,” tambah Fauzan.

Terakhir, Lokataru menyoroti draf RKUHAP yang menempatkan kepolisian sebagai penyidik utama. Mereka menegaskan perlunya melihat permasalahan internal kepolisian sebelum memberikan kewenangan superpower penyidikan kepada institusi tersebut.

“Kalau kita kasih superpower kewenangan, kita harus lihat juga permasalahan yang mereka perbuat,” ujar Fahrul Lubis, peneliti Lokataru.

Lokataru kemudian merinci sejumlah persoalan terkait kepolisian. Catatan Komnas HAM menunjukkan institusi kepolisian konsisten menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan masyarakat dalam hal penyalahgunaan wewenang maupun kekerasan. Polisi juga disebut kerap melakukan manipulasi barang bukti dan rekayasa prosedural.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan keterlibatan kepolisian dalam kasus korupsi, baik dalam praktik backing maupun penerimaan suap. “Bahkan laporan Transparency International menempatkan kepolisian sebagai institusi yang paling koruptif di mata publik,” sebut Fahrul.

Pimpinan Komisi III DPR RI menyimak pemaparan Lokataru Foundation dalam RDPU, Senin (29/9/2025). Foto: Mirza M. Bagaskara/Pedeo Project

Selain itu, dalam aspek penegakan hukum, kepolisian dinilai sering kali melakukan bias represif, misalnya dengan penangkapan sewenang-wenang dalam penanganan demonstrasi. “Fakta ini menunjukkan Polri sering diposisikan sebagai alat kekuasaan ketimbang sebagai penegak hukum independen yang melindungi rakyat,” jelas Fahrul.

Lokataru juga menyebut tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum tidak hanya dialami oleh Delpedro, melainkan juga sebagian besar orang yang ditangkap.

Selain itu, mereka menyinggung laporan KontraS terkait orang hilang, di mana sebagian besar massa aksi yang dilaporkan hilang ditemukan di kantor-kantor kepolisian. “Catatan KontraS dari 2020 sampai sekarang mencatat hampir 1.000 laporan penyelewengan kekuasaan dan kekerasan oleh instansi kepolisian, mayoritas terjadi di tahap penyidikan,” tambahnya.

Lokataru menekankan pentingnya refleksi atas berbagai permasalahan tersebut sebelum memberikan kewenangan superpower kepada kepolisian sebagai penyidik utama. “Dalam teori check and balances, monopoli kewenangan oleh satu institusi merupakan bentuk penyimpangan serius karena mengabaikan prinsip distribusi kekuasaan,” tegasnya.

Lokataru juga menggarisbawahi empat prinsip utama dalam penyidikan yang adil, yakni independensi, akuntabilitas, transparansi, serta proporsionalitas.

Sebagai penutup, Lokataru mengusulkan empat poin dalam penyusunan RKUHAP:

  1. Reformulasi Kewenangan Penyidikan: Perlu pemisahan kewenangan antara Polri, Kejaksaan, dan lembaga independen agar penyidikan tidak dimonopoli oleh satu institusi.
  2. Penguatan Mekanisme Pengawasan: Diperlukan pengawasan eksternal yang lebih kuat melalui Komnas HAM, Ombudsman, maupun partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya penyidikan.
  3. Jaminan Perlindungan HAM dalam RUU KUHAP: Setiap pasal yang berpotensi membatasi kebebasan sipil harus ditinjau ulang. RUU KUHAP harus selaras dengan prinsip ICCPR dan UUD 1945 agar hak atas peradilan yang adil benar-benar terjamin.
  4. Transparansi dan Partisipasi Publik: Proses legislasi RUU KUHAP harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil agar regulasi ini benar-benar menjangkau kepentingan masyarakat luas.

Leave a reply