Ekspresi & Partisipasi Politik Pelajar Bukan Tindak Pidana

0
197
  • Oleh Fian Alaydrus

Demonstrasi besar yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang akhir Agustus hingga awal September 2025 membuat topik gerakan pelajar kembali menjadi perbincangan khalayak. Topik ini kian menjadi perhatian publik lantaran Kepolisian RI menangkap ribuan demonstran termasuk empat aktivis pro-demokrasi, yakni Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, staf Lokataru Foundation Muzaffar Salim, admin akun Instagram Gejayan Memanggil Syahdan Husein, serta aktivis muda dari Aliansi Mahasiswa Penggugat Khariq Anhar. Keempatnya dituduh menghasut pelajar, dan hingga saat ini mereka masih ditahan oleh Polda Metro Jaya.

Merujuk fakta yang dirilis kepolisian, antara tanggal 25-30 Agustus 2025 dengan menggunakan platform Instagram, para aktivis muda itu berkolaborasi mengunggah konten dan poster yang mengajak para pelajar untuk berdemonstasi. Akun Instagram Blok Politik Pelajar, Gejayan Memanggil dan Aliansi Mahasiswa Penggugat mengunggah beberapa konten yang mengajak pelajar untuk berdemonstrasi. Sementara itu, akun IG Lokataru Foundation mengunggah poster yang berisi layanan posko pengaduan bagi pelajar dengan konten yang juga mengajak para pelajar untuk berdemonstrasi dengan kata-kata “mari kita lawan bareng”.

Di mata para penyidik Polda Metro Jaya, perbuatan para aktivis ini merupakan bentuk penghasutan yang menyasar pelajar, yang secara usia dan hukum termasuk dalam kategori anak-anak. Tindakan mereka merupakan bentuk perbuatan yang membahayakan keselamatan anak-anak. Oleh karena itu dianggap bentuk kejahatan dan mereka sudah sepantasnya ditangkap dan ditahan untuk diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lebih jauh, Penyidik bahkan menuduh mereka membuat pemberitaan bohong dan melakukan pelanggaran atas UU ITE.

Namun apakah cara pandang penyidik ini cukup beralasan dan memiliki dasar hukum yang kuat? Setidaknya, ada tiga dimensi yang bisa dijadikan landasan untuk memahami secara komprehensif tentang konstruksi perkara yang sedang dibangun oleh penyidik.

Pertama, Dimensi Hukum Ekspresi dan Partisipasi Politik Pelajar. Perlu dipahami bahwa dimensi ini berbeda antara mendorong ekspresi politis anak (pendidikan politik) dengan eksploitasi anak untuk tujuan politik.

Jika kita merujuk pada fakta yang dirilis kepolisian di atas, dan katakanlah fakta itu benar adanya, atau katakanlah bahwa keempat aktivis ini memang melakukan perbuatan yang mengajak pelajar untuk berdemonstrasi, namun frasa “kita lawan bareng” juga dapat dipandang dan dinilai sebagai ajakan untuk mendorong dan memotivasi pelajar untuk bertindak kritis dan mengeluarkan ekspresi politik mereka atas situasi yang terjadi di sekeliling dan berkaitan dengan tindakan mereka. Dalam hal ini dua hal yang menjadi konteks utama: protes publik atas rencana kenaikan uang tunjangan perumahan anggota DPR dan kemarahan publik atas peristiwa kematian tragis driver ojek online (ojol) Affan Kurniawan.

Dalam interpretasi tersebut, kita bisa melangkah dan melakukan analisis hukum lebih jauh dengan memeriksa apakah perbuatan mendorong ekspresi politik dan partisipasi politik pelajar, anak muda yang belum dewasa menurut usia hukum merupakan sesuatu yang dilarang oleh hukum dan karenanya digolongkan sebagai suatu bentuk tindak pidana? Atau sebaliknya, ia merupakan bentuk kegiatan yang sah dan justru dianjurkan sebagai bagian dari pendidikan politik.

Aturan hukum, baik nasional maupun internasional, memberikan garis pemisah yang sangat jelas antara hak anak untuk menyalurkan ekspresi politis dan/atau partisipasi politik serta tindakan untuk memotivasi dan mendorongnya (encouraging) sebagai bagian dari pendidikan politik dengan tindakan memanfaatkan dan/atau eksploitasi anak untuk tujuan politik.

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), khususnya pasal-pasal utama yang mengatur soal ekspresi dan partisipasi politik anak, yakni Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 memastikan bahwa anak-anak memiliki hak untuk bersuara dan dilibatkan dalam masalah yang memengaruhi mereka, termasuk hak-hak politik. Hak anak-anak untuk berkumpul secara damai dan berorganisasi (Pasal 15) menyebutkan bahwa anak-anak memiliki hak untuk bertemu dengan teman-teman, mendirikan atau bergabung dengan kelompok, dan mengambil bagian dalam protes damai.

Sejalan dengan aturan internasional, beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mendukung dan mengakui hak warga negara, termasuk pelajar dan remaja, untuk berpartisipasi dalam politik termasuk menunjukkan ekspresi politik – demonstrasi dan lainnya – meskipun dengan batasan yang jelas. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakui kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia (HAM). Hak ini menjadi landasan bagi individu termasuk kaum muda, untuk terlibat dalam kehidupan politik.

Jaminan konstitusional ini berlaku bagi seluruh warga negara tanpa membedakan usia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga menyebutkan bahwa partai politik memiliki fungsi untuk melaksanakan pendidikan politik bagi masyarakat, termasuk menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajiban politik. Lebih jauh, Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga mengakui partisipasi anak sebagai salah satu dari empat hak dasar anak, selain hak hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan.

Sementara itu memang terdapat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang melarang penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik. Eksploitasi ini bisa berupa melibatkan anak dalam demonstrasi, konvoi, atau bahkan menjadikan mereka juru kampanye, yang rentan membahayakan fisik dan psikis anak. Namun, apabila dicermati lebih dalam, yang dilarang dalam pasal ini adalah tindakan dan unsur eksploitasinya, bukan demonstrasinya.

Ini masuk akal dan beralasan, karena jika demonstrasi anak atau melibatkan anak-anak dalam demonstrasi yang dilarang maka ini tidak sejalan dengan pengakuan dan perlindungan hak anak untuk berekspresi, termasuk ekspresi politik seperti demonstrasi dan lainnya. CRC sendiri tidak melarang anak-anak untuk berdemonstrasi. Yang dilarang oleh CRC bukan pelibatan anak dalam berdemonstrasi, melainkan larangan eksploitasi anak untuk kepentingan politik yang membahayakan keselamatan anak. Dalam konteks ini, ajakan melakukan demonstrasi dengan kekerasan yang membahayakan anak haruslah dipandang melanggar prinsip kepentingan terbaik anak.

Dengan mengacu pada aturan internasional dan nasional sebagaimana diuraikan di atas, maka perbuatan para aktivis yang mengunggah flyer ajakan berdemonstrasi di sosial media tidak bisa serta merta disalahartikan sebagai upaya mengeksploitasi anak untuk tujuan politik. Sebaliknya ia justru merupakan tindakan yang sah dan dianjurkan untuk mendorong dan menumbuh-kembangkan kesadaran kritis pelajar dan menjadi elemen penting dari partisipasi dan pendidikan politik yang sehat untuk membangun demokrasi yang lebih matang.

Dalam negara demokrasi, partisipasi warga negara dalam kehidupan politik adalah hal yang krusial. Kelompok pelajar dan remaja, sebagai bagian dari generasi muda, memiliki peran yang sangat penting sebagai aset bangsa yang idealis dan bersemangat tinggi. Mengajak mereka mengekspresikan kepentingan politik mereka dan berpartisipasi dalam politik bukanlah suatu tindak pidana, melainkan sebuah upaya untuk membangun kesadaran politik yang kritis dan bertanggung jawab. Keterlibatan yang besar dari pelajar dalam kehidupan atau ekspresi politik menunjukkan semakin matangnya demokrasi.

Dengan demikian, mendorong pelajar dan remaja untuk menyampaikan ekspresi politik dan berpartisipasi dalam penyampaian aspirasi politik melalui demonstrasi, bukanlah tindakan melanggar hukum, melainkan upaya yang diperlukan untuk membangun demokrasi yang sehat dan matang di masa depan. Namun, garis antara pendidikan politik dan eksploitasi politik harus dipahami dengan jelas. Mengakui hak ekspresi politik pelajar, menempatkan mereka sebagai subjek yang bertanggung jawab, membekali mereka dengan pengetahuan, keberanian dan kesadaran kritis.

Sementara eksploitasi politik lebih memperlakukan mereka sebagai objek dan memanfaatkan mereka hanya untuk kepentingan pragmatis. Negara, orang tua, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pelajar dan anak muda mendapatkan haknya untuk terlibat dan menyuarakan kepentingan politik mereka, sambil melindungi mereka dari segala bentuk penyalahgunaan politik yang melanggar hukum. Dengan begitu, kita bisa menghormati mereka dan sekaligus mendapatkan berkah dari generasi ini: generasi yang kritis, kreatif, dan siap menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.

Selanjutnya, kita masuk ke dimensi berikutnya. Yaitu dimensi hukum perihal “Posko Aduan” sebagai bentuk kegiatan advokasi yang sah. Selebaran atau flyer yang dipermasalahkan polisi juga sebenarnya bukan hanya sekedar ajakan melawan, namun juga pengumuman mengenai adanya poslo aduan pelajar. Disini Lokataru menyediakan dirinya untuk menjadi tempat bagi para pelajar mengadu. Namun, hal ini tentu berkaitan erat dengan konteksnya. Pengumuman adanya posko ini tentunya bukan lahir dari ruang vakum.

Selebaran “Posko Aduan”, yang diterbitkan oleh Lokataru Foundation dan Blok Politik Pelajar, harus dipahami dalam kaitannya dengan peristiwa sosial-politik yang terjadi dari akhir Agustus sampai awal September 2025. Dalam periode itu, pelajar dieliminasi bukan hanya secara fisik dari lokasi demonstrasi, tetapi juga secara diskursif melalui berbagai kebijakan yang mengekang hak partisipasi politik mereka. Sebagai contoh konkret, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur (Disdikbud Kaltim) mengeluarkan surat edaran tertanggal 29 Agustus 2025 Nomor 800.1.3.3/21751/Disdikbud.XI/2025 yang secara tegas melarang keterlibatan pelajar dalam aksi unjuk rasa.

Surat itu mewajibkan sekolah untuk memperketat pengawasan selama jam belajar dan memaksimalkan kegiatan akademik agar siswa tidak memiliki kesempatan keluar dan ikut demo, serta mengancam bahwa kepala sekolah bisa dipanggil dan menghadapi sanksi jika terbukti membiarkan siswa terlibat aksi demonstrasi. Selain itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI Abdul Mu’ti menyatakan keprihatinannya bahwa masih banyak pelajar – bahkan dari tingkat SD dan SMP – terlibat dalam aksi demonstrasi hari-hari itu.

Ia menyampaikan imbauan resmi kepada dinas pendidikan dan kepala sekolah untuk memperhatikan aktivitas siswa agar kejadian serupa tidak terulang . Kondisi ini patut dipertimbangkan sebagai latar yang membentuk konteks mengapa selebaran “Posko Aduan” muncul sebagai bentuk advokasi yang sangat dibutuhkan. Ketika pelajar menghadapi tekanan berupa ancaman sanksi, perlakuan diskriminatif dari institusi pendidikan, bahkan potensi kriminalisasi, wacana advokasi seperti ini menjadi ruang pelindung yang kritis.

Dalam perspektif linguistik, pertanyaan retoris “Anda pelajar? Ingin demo? Sudah demo?” bukanlah dorongan untuk memobilisasi aksi baru, melainkan pengakuan bahwa demonstrasi merupakan hak sah pelajar sebagai bagian dari masyarakat demokratis. Lebih lanjut, ungkapan “Diancam sanksi!? Atau sudah disanksi?” secara langsung menangkap realitas bahwa pelajar memang menghadapi risiko represi dari institusi pendidikan. Dengan begitu, pernyataan “Kita lawan bareng!” dan “Jangan takut!” harus dipahami sebagai ungkapan solidaritas yang hadir sebagai respons atas intimidasi tersebut.

Ungkapan itu sama sekali bukan ajakan kekerasan dan bahkan bukan ajakan demonstrasi, melainkan tawaran advokasi hukum terhadap pembungkaman hak. Hal itu diperkuat dengan penggunaan istilah “Posko Aduan” yang menegaskan karakteristik wacana advokasi hukum formal, yang menyediakan sebuah kanal pengaduan dan perlindungan dan sama sekali tidak bisa dimaknai sebagai bentuk mobilisasi massa untuk kerusuhan. Dengan mencantumkan nomor kontak, selebaran itu menginformasikan kepada pelajar bahwa mereka tidak sendiri dan ada jalur aman yang bisa digunakan ketika hak mereka sedang dikebiri.

Secara keseluruhan, selebaran “Posko Aduan” menginformasikan bahwa demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi dan bukan pelanggaran hukum, dengan membangun solidaritas, mengurangi rasa takut, dan menyediakan jalur nyata untuk mendapatkan perlindungan hukum. Selebaran ini seharusnya dipahami sebagai bentuk pemberdayaan hak sipil pelajar saat sedang diuji dan dinegosiasikan di ruang publik.

Membuka posko aduan hak-hak pelajar untuk demonstrasi merupakan tindakan yang sah dan dilindungi hukum di Indonesia. Posko semacam ini tidak melanggar peraturan, melainkan justru menjadi wujud nyata dari upaya perlindungan hak asasi manusia, terutama hak menyampaikan pendapat di muka umum.

Keabsahan posko aduan ini didukung dan sejalan dengan beberapa landasan hukum di Indonesia. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Membuka posko aduan adalah bagian dari hak ini, yang bertujuan untuk melindungi mereka yang sedang menjalankan hak konstitusionalnya dalam berdemonstrasi. Posko ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang mengatur hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, termasuk melalui demonstrasi.

Posko aduan berfungsi untuk mengawasi dan memastikan hak-hak tersebut tidak dilanggar, serta untuk menampung laporan jika terjadi pelanggaran. Lebih jauh keberadaan posko ini juga sejalan dengan UU Bantuan Hukum yang mengatur hak setiap warga negara, termasuk pelajar, berhak mendapatkan bantuan hukum. Posko aduan yang biasanya dioperasikan oleh Lokataru Foundation atau organisasi kemasyarakatan adalah bentuk implementasi dari hak ini. Lebih jauh, posko ini juga dapat dipandang sebagai upaya perlindungan anak.

Meskipun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melarang pelibatan anak di bawah umur dalam demonstrasi, mereka juga mendorong pemenuhan hak pendidikan anak dan perlindungan dari kekerasan. Oleh karena itu, posko aduan berfungsi untuk memastikan hak-hak ini terpenuhi, termasuk jika terjadi kasus pelanggaran hak pelajar di bawah umur.

Secara hukum, posko aduan memiliki fungsi yang sah dan penting, yaitu: mendokumentasikan potensi pelanggaran hak yang dialami pelajar selama demonstrasi, seperti intimidasi, kekerasan fisik, atau penangkapan sewenang-wenang. Menyediakan pendampingan hukum, baik konsultasi maupun pendampingan di tingkat kepolisian, bagi korban atau saksi. Advokasi dan Laporan dengan mengumpulkan bukti dan kesaksian untuk digunakan sebagai laporan resmi kepada lembaga terkait, seperti kepolisian, Komnas HAM, KPAI, atau LPSK. Terakhir, juga untuk memastikan korban mendapatkan akses ke layanan pemulihan, seperti konseling atau perawatan medis jika diperlukan.

Membuka posko aduan bukanlah tindakan kriminal karena posko aduan tidak mengandung unsur tindak pidana, seperti menghasut, melakukan kekerasan, atau merusak fasilitas umum. Sebaliknya, posko aduan justru membantu penegakan hukum dengan menyediakan mekanisme bagi korban untuk melaporkan pelanggaran dan mengumpulkan bukti yang sah. Tindakan ini merupakan bagian dari hak sipil dan politik warga negara yang dijamin konstitusi. Pihak yang menghalang-halangi pendirian posko aduan justru bisa melanggar hukum, karena dapat dianggap sebagai upaya menghalangi kebebasan berpendapat.

Dengan demikian, membuka posko aduan hak-hak pelajar adalah tindakan yang sepenuhnya sah dan merupakan bagian penting dalam menjamin perlindungan hukum bagi mereka yang berpartisipasi dalam demonstrasi.

Berikutnya, kita masuk dalam dimensi kausalitas kerusuhan. Apa yang menyulut (trigger) amuk massa dan kerusuhan? Salah satu unsur dalam tindak pidana penghasutan – Pasal 160 KUHP – adalah adanya kausalitas antara penghasutan dengan peristiwa kekerasan yang terjadi setelahnya. Sederhananya, kekerasan itu harus diakibatkan secara langsung oleh hasutan yang dilakukan.

Meskipun katakanlah unggahan-unggahan itu merukan ajakan demontrasi dan ada bukti keterlibatan aktivis media sosial dalam menyebarkan ajakan demonstrasi, sulit untuk menetapkan bahwa unggahan mereka adalah satu-satunya penyebab langsung atau kausalitas tunggal dari kerusuhan yang terjadi pada 28–30 Agustus 2025. Kerusuhan tersebut merupakan hasil dari berbagai faktor yang terakumulasi.

Suatu perbuatan apalagi suatu perbuatan pidana, pasti merujuk pada suatu lokasi (locus) dan waktu (tempus) tertentu. Dari segi waktu (tempus), uanggahan mereka berempat – sebagaimana terungkap dalam rilis polisi dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para tersangka – terjadi pada tanggal 25 dan 27 Agustus 2025, atau sebelum terjadinya kematian tragis Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob Polda Metro Jaya pada Kamis (28/8/2025) malam.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh penyidik untuk melihat sejauh mana pengaruh unggahan konten dengan kerusuhan yang terjadi. Beberapa diantaranya adalah; 1) seberapa banyak jumlah jangkauan dari akun-akun tersebut; 2) sejauh mana viralitas dari konten-konten tersebut sehingga dapat mengamplifikasi pesan yang sama di daerah-daerah; 3) gambaran algoritma dari pesan-pesan yang diunggah dengan keseluruhan pesan yang mendominasi selama peristiwa demonstrasi dan kerusuhan, khususnya gambaran algoritma pesan-pesan sosial media di daerah-daerah. Sementara itu, kesaksian dalam BAP dari demonstran yang ditangkap mengenai motivasi keikutsertaan mereka diragukan dan tidak cukup bisa diandalkan dengan mempertimbangkan potensi keterangan yang diarahkan atau dibawah tekanan penyidik.

Apabila dibandingkan dengan luasnya skala peristiwa yang terjadi, dimana peristiwa demonstrasi terjadi di sekitar 170 kota, juga dengan temuan-temuan laporan pemantauan masyarakat sipil dan media, tidak ada bukti yang menunjukkan kuatnya pengaruh unggahan konten para tersangka dengan kerusuhan yang terjadi.

Beberapa kalangan meyakini, baik media maupun analis, peristiwa kematian Affan Kurniawan sebagai faktor yang paling menyulut kemarahan massa dan kerusuhan lebih luas di Jakarta dan di berbagai daerah. Ini misalnya dapat dilihat dalam liputan Harian Kompas yang berjudul Bagaimana Insiden Tewasnya Affan Kurniawan hingga Memicu Amuk Massa di Banyak Daerah?, dan media arus utama lainnya.

Investigasi Majalah Tempo, sebagaimana juga dirilis di kanal podcast Bocor Alus Politik menemukan fakta bahwa para pelajar yang berdemonstrasi digerakkan oleh aktor yang memiliki latar belakang intelijen militer dengan cara memprovokasi dan melalui grup WhatsApp yang mereka kelola dan berisi ribuan anggota yang mayoritas berstatus pelajar (https://www.tempo.co/mingguan/edisi/7185). Meskipun belakangan dugaan adanya keterlibatan intelijen militer dalam kerusuhan dibantah oleh TNI.

Sementara itu, analisis Andi Wijayanto dan Lab 45 juga menyebut dugaan amok massa dan kerusuhan diorkestrasi oleh AI yang menyebarkan konten-konten disinformasi seperti pembakaran gedung DPRD yang terjadi sebelum pembakaran DPRD menjadi kejadian sebenarnya. Andi menyebut, sejumlah kelompok kini berebut pengaruh terhadap Presiden Prabowo Subianto. Ia menyoroti efek penyebaran informasi cepat yang diperparah oleh peran kecerdasan buatan (AI) dalam membentuk gerakan sosial-politik.

Dengan demikian, ada lebih banyak bukti yang menunjukkan kuatnya hubungan kausalitas antara kematian Affan dengan kerusuhan yang terjadi. Sementara itu hubungan kausalitas antara konten flyer uggahan Instagram Lokataru Foundation, blokpolitikpelajar dan Gejayan Memanggil dengan kerusuhan tidak memiliki kaitan atau setidak-tidaknya tidak cukup beririsan kuat.

Dengan mengenakan pasal penghasutan kepada para aktivis, polisi membebankan kesalahan penyebab terjadinya kerusuhan pada para aktivis. Langkah ini cenderung menyederhanakan persoalan dan menegasikan berbagai faktor lainnya yang lebih berkontribusi pada semakin marahnya massa demonstran, seperti keputusan DPR yang menolak membatalkan keputusan menaikkan jumlah tunjangan anggota DPR, sikap arogan anggota DPR, konten-konten disinformasi yang viral dan diorkestrasi oleh sejumlah aktor termasuk AI mengenai perilaku anggota DPR yang berjoget dan dinarasikan menari diatas penderitaan rakyat, tindakan brutalitas kepolisian terhadap para demonstran hingga kasus kematian Affan.

Dengan demikian, hubungan kausalitas yang menjadi penentu dari delik penghasutan yang dituduhkan kepada empat aktivis tersebut tidak terbukti atau setidak-tidaknya tidak cukup bukti yang meyakinkan. Sehingga tidak tepat menimpakan kesalahan terjadinya keonaran dan kerusuhan massa pada demonstrasi 25-30 Agustus kepada para aktivis pro-demokrasi.

Berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, maka beralasan menurut hukum dan sudah selayaknya bagi penyidik Polda Metro Jaya untuk menghentikan penyidikan kepada keempat aktivis yang ditahan. Keseluruhan tindakan mereka sebagaimana fakta yang dirilis oleh penyidik adalah perbuatan yang sah menurut hukum dan karenanya bukan merupakan tindak pidana. Selain itu, tidak ada bukti yang cukup dan meyakinkan untuk menyimpulkan adanya hubungan kausalitas antara unggahan pesan dan flyer di instagram yang mereka lakukan dengan terjadinya peristiwa kerusuhan selama demonstrasi 25-30 Agustus 2025.

Fian Alaydrus merupakan seorang pegiat hak asasi manusia (HAM) dan peneliti. 

Leave a reply