
LBH DLN menyampaikan keterangan pers untuk menyikapi gelombang kriminalisasi aktivis. Foto: LBH DLN untuk Pedeo Project
LAMPUNG, 27 September 2025 – Indonesia kembali diterpa bayang-bayang represi. Lembaga Bantuan Hukum Dharma Loka Nusantara (LBH DLN) menyoroti apa yang mereka nilai sebagai gelombang kriminalisasi terhadap aktivis pro-demokrasi pasca-demonstrasi besar pada Agustus-September 2025.
Menurut LBH DLN, tindakan ini bukan hanya merupakan penyalahgunaan hukum, tetapi juga bentuk pembungkaman terang-terangan terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Konstitusi (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945).
LBH DLN dalam keterangan pers yang diterima Pedeo Project mengecam keras upaya pembungkaman tersebut. Alih-alih membentuk tim investigasi independen atas tewasnya 10 korban jiwa dalam aksi tersebut, LBH DLN menilai pihak kepolisian justru melanjutkan penangkapan masif terhadap para aktivis, termasuk Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dkk.
Pola Pelanggaran HAM yang Serius
Berdasarkan data yang dihimpun LBH DLN dari berbagai sumber terbuka—mulai dari laporan media, publikasi organisasi masyarakat sipil, hingga kesaksian di media sosial—terdapat indikasi kuat adanya pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar para tahanan politik ini.
LBH DLN mencatat sedikitnya enam pola persoalan yang menunjukkan praktik represif negara, yakni:
- Penangkapan sewenang-wenang tanpa surat perintah yang jelas, disertai intimidasi, dan tanpa kesempatan bagi tahanan untuk membela diri. Bahkan, pemeriksaan dilakukan di malam hari tanpa kehadiran pendamping hukum maupun keluarga;
- Pembatasan akses komunikasi dan kunjungan, di mana keluarga, pengacara, maupun pendamping lain kerap kesulitan menemui tahanan karena aturan yang berubah-ubah secara mendadak;
- Perempuan tahanan dilakukan diskriminatif, termasuk yang memiliki bayi menyusui, namun dipisahkan secara paksa sehingga menghilangkan hak anak atas ASI (air susu ibu).
- Tidak tersedia layanan psikologis, yang semakin memperparah tekanan mental para tahanan;
- Keterbatasan akses terhadap penasihat hukum independen, sehingga memunculkan keraguan atas jaminan keadilan dalam proses hukum;
- Penahanan anak di bawah umur yang diduga ikut aksi, yang jelas bertentangan dengan UU Perlindungan Anak serta prinsip peradilan anak.
LBH DLN menegaskan bahwa fakta-fakta ini mencerminkan pola represif negara yang menciderai konstitusi dan standar HAM internasional. “Negara bukannya melindungi hak rakyat, tetapi justru memperlakukan perbedaan pendapat sebagai ancaman,” tegas LBH DLN dalam rilisnya, Sabtu (27/9/2025).
Tuntutan Tegas LBH DLN
Untuk mengembalikan marwah konstitusi dan menjamin hak asasi warga negara, LBH DLN mengajukan lima tuntutan mendesak kepada negara, yakni:
- Hentikan segera kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi. Menangkap rakyat hanya karena membaca atau memiliki buku, serta menyampaikan pendapat, adalah praktik inkonstitusional dan anti-intelektual;
- Bebaskan seluruh tahanan politik demonstrasi Agustus 2025. Alasan penahanan mereka semata-mata karena menyuarakan pendapat yang sah menurut konstitusi;
- Hormati hak-hak perempuan dan anak dalam proses hukum. Polisi wajib menjalankan prosedur hukum sesuai prinsip HAM, tanpa kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan diskriminatif;
- Presiden segera mengatasi akar persoalan struktural. Hentikan praktik korupsi, ketimpangan ekonomi, proyek-proyek yang merusak lingkungan, dan PHK massal yang memperburuk kondisi rakyat;
- Segera lakukan reformasi Polri. Reformasi harus dijalankan dengan perspektif keadilan sosial dan kesetaraan gender, tanpa mengulang pola kekerasan dan pelanggaran HAM.















