ICW Sebut Penindakan Korupsi 2024 Merosot Tajam: Rekor Terburuk 5 Tahun Terakhir

0
170

JAKARTA, 30 September 2025 – Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis laporan hasil pemantauan tren korupsi tahun 2024. Penindakan kasus korupsi tahun 2024 disebut menurun secara signifikan, namun hal tersebut tidak menunjukkan menurunnya kasus korupsi, melainkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi.

Sepanjang tahun 2024, ICW menemukan 364 kasus tindak pidana korupsi (tipikor) dengan total 888 tersangka oleh aparat penegak hukum (APH), terdiri atas kepolisian, kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Angka tersebut menunjukkan penurunan drastis dari tahun sebelumnya, yaitu 791 kasus dengan 1.695 tersangka.

Sementara itu, potensi kerugian negara tahun 2024 disebut mengalami lonjakan tajam dari tahun sebelumnya, yakni Rp279,9 triliun pada 2024 dan Rp28,4 triliun pada 2023. Lonjakan kerugian tersebut diketahui disumbang oleh kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk dengan kerugian sebesar Rp271 triliun atau 96,8 persen dari total keseluruhan potensi kerugian negara.

Namun, ICW menyebut lonjakan nilai kerugian negara tersebut tidak diiringi dengan penerapan pasal pemulihan aset hasil Tipikor melalui pasal pencucian uang maupun Pasal 18 UU Tipikor sebagai instrumen utama dalam memulihkan aset hasil tipikor.

Laporan tersebut menunjukkan, dari 364 kasus hanya 48 kasus yang ditangani dengan Pasal 18 UU Tipikor dan 5 kasus yang ditangani dengan pasal pencucian uang.

ICW juga menyebut, kasus korupsi dominan terjadi di sektor yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, seperti utilitas, kesehatan, dan pendidikan. Sektor desa juga disebut masih banyak terjadi tindak korupsi dengan jumlah 77 kasus.

ICW menegaskan, penurunan jumlah kasus dan tersangka yang ditangani oleh APH tidak menunjukkan penurunan kasus korupsi, melainkan mencerminkan menurunnya kinerja APH dalam menangani Tipikor.

“Jumlah kasus dan tersangka yang diungkap APH menurun dan tercatat sebagai yang terendah dalam kurun lima tahun terakhir,” kata Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah dalam keterangan yang diterima Pedeo Project, Selasa (30/9/2029).

Penurunan penindakan tindak pidana korupsi disebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ketiadaan transparansi APH dalam memublikasikan data kinerja penindakan, koordinasi dan supervisi antara KPK dengan APH lain yang tidak berjalan optimal, serta aduan masyarakat yang kerap tidak ditindaklanjuti secara serius oleh APH.

Dalam laporannya, ICW mencatat terdapat 6 kejaksaan tinggi, 292 kejaksaan negeri, 63 cabang kejaksaan negeri, 14 kepolisian daerah, dan 445 kepolisian resor yang informasinya minim sehingga patut diduga tidak menangani perkara korupsi pada tahun 2024.

Selain itu, ICW juga menilai menurunnya kinerja APH disebabkan oleh adanya kebijakan kontraproduktif yang dikeluarkan oleh kejaksaan dan kepolisian, yaitu kebijakan untuk menunda penindakan korupsi yang melibatkan peserta pemilihan umum 2024.

Sebagai penutup, ICW mendesak agar Pemerintah dan DPR untuk:

  • Mengambil langkah konkret dan memperkuat upaya pengawasan atas pengelolaan keuangan negara pada setiap sektor yang, berdasarkan hasil pemantauan laporan ini, menjadi titik paling rawan dikorupsi;
  • Segera memprioritaskan pembentukan produk legislasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti revisi UU Tipikor yang secara substansi perlu menganut sejumlah ketentuan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus segera membahas, mengesahkan, dan mengundangkan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana sebagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan korupsi; dan
  • Tingginya jumlah kasus serta tersangka yang melibatkan lembaga BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta mendesak pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan seluruh perusahaan swasta maupun BUMN dan BUMD membuat peraturan internal yang menerapkan dan memperkuat sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).

Sementara untuk aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK), ICW mendesak untuk:

  • Mengoptimalkan sistem informasi penanganan perkara secara berkala, serta mencantumkan deskripsi perkara yang sedang ditangani secara komprehensif agar memudahkan masyarakat untuk terlibat aktif memantau dan mengevaluasi kinerja APH secara berkala;
  • Setiap pimpinan penegak hukum harus segera melakukan evaluasi atas kinerja penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh penyidik di instansinya, meningkatkan kapasitas anggotanya secara berkala, serta memastikan pemerataan kemampuan personel di setiap wilayah agar seluruh satuan kerja melakukan penindakan korupsi serta melaporkan kinerja penindakan tersebut ke dalam sistem informasi terbuka yang dapat diakses publik setiap saat; dan
  • Setiap aparat penegak hukum harus lebih aktif mengarusutamakan penggunaan pasal pemulihan aset, baik melalui Pasal 18 UU Tipikor maupun pasal pencucian uang, sebagai upaya untuk memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi.

Leave a reply