Kebijakan Impor BBM Satu Pintu: Polemik dan Indikasi Persaingan Tidak Sehat Pertamina Vs Swasta

Alqi Salaam Byhaqi
- Oleh Alqi Salaam Byhaqi
Beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberi pernyataan yang mengundang reaksi publik. Pernyataan itu berkaitan dengan pemberlakuan pembatasan impor bahan bakar minyak (BBM) bagi para perusahaan swasta penyedia bahan bakar di Indonesia, yang mana berdampak pada pasokan bahan bakar di perusahaan swasta tersebut.
Usulan itu tidak hanya membatasi impor BBM yang sudah diregulasikan, tapi juga menutup akses pintu impor yang sudah ada karena pihak swasta tidak boleh lagi melalui jalur mandiri, melainkan harus membeli lewat PT Pertamina (Persero). Hal ini tentu berdampak pada masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan bahan bakar yang lebih terjamin kualitasnya daripada Pertamina.
Sebetulnya, ada inisiasi yang baik yang coba ditawarkan oleh Kementerian ESDM melalui Bahlil, karena pada dasarnya ia ingin memutus rantai penyalahgunaan impor dan dugaan adanya impor ilegal, namun yang sangat disayangkan adalah cara ini justru menjadi salah satu jalur pembuka bagi Pertamina untuk melakukan monopoli perdangangan BBM di Indonesia
Ada fakta menarik dari salah satu wawancara door stop Bahlil tentang alasan di balik pembatasan impor BBM. Menurut Bahlil, wacana pembatasan ini muncul akibat adanya hasil impor yang dilakukan tidak sesuai dengan dokumen impornya: barang yang dimasukkan adalah barang A, namun ternyata yang masuk adalah barang B. Hal ini tentu menjadi kerugian besar untuk negara, karena pemalsuan dokumen dan barang sekaligus dapat menghilangan potensi PNBP dan PPh yang bernilai ratusan trilliun rupiah.
Temuan itu yang mendorong perubahan arah kebijakan yang ada. Tetapi yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan adalah indikasi monopoli yang sangat kuat, yang tadinya ada ratusan badan usaha yang memiliki wewenang kegiatan usaha impor migas di Indonesia, sesuai dengan PP No. 36 Tahun 2004. Fokus impor ini pun sudah tentu diatur untuk sangat menguntungkan Pertamina, di mana badan usaha migas swasta hanya diperbolehkan mengimpor BBM non-subsidi, sementara untuk BBM bersubsidi hanya boleh dilakukan kegiatan impornya oleh Pertamina.
Solusi sementara PT Pertamina waktu itu adalah berjanji menyediakan stok impor BBM yang sesuai, namun ketika berada di pertengahan pemenuhan kesepakatan, ada hal yang menjadi pertimbangan besar bagi para perusahaan swasta tersebut, di mana Kementerian ESDM melalui Pertamina menambahkan zat etanol sebanyak 10%. Ini tentu menjadi permasalahan baru, di mana seharusnya kesepakatannya adalah mengimpor bahan bakar murni yang belum dicampur atau base fuel.
Sementara ketika kesepakatannya sudah hampir rampung, Menteri ESDM malah menambahkan ketentuan di luar kesepakatan dengan menambahkan zat etanol sebesar 10% tersebut. Yang menjadi keseriusan pihak swasta sebagai penyedia bahan bakar adalah bahan bakar yang dijual pihak swasta adalah bahan bakar campuran antara base fuel dengan zat adiktif pembersih dan peningkat performa yang menjadi teknologi keunggulan mereka, dan apabila ada zat etanol yang ditambahkan, produk yang mereka jual justru sudah berubah intisari spesifikasi produknya, output-nya pun tidak akan sama.
Kebijakan ini tentu mengundang kritik. Sebab, praktik monopoli akan sangat kental terjadi bila wacana kebijakan ini berhasil diberlakukan. Dugaan yang sangat rawan akan terjadi adalah sikap PT Pertamina sebagai perusahaan tunggal yang diperbolehkan mengimpor adalah menjadi seakan-akan tidak tersentuh, padahal seharusnya BUMN sebagai representasi dan kehadiran negara sebagai pemenuh hajat hidup orang banyak yang seharusnya dapat memberikan pelayanan dan produk yang paling baik di antara produk-produk lainnya, namun berbanding balik dengan kondisi di lapangan.
Banyak keluhan dari konsumen yang melakukan pengisian bahan bakar di Pertamina justru mengalami masalah-masalah yang tidak terduga, tidak sama seperti ketika mereka mengisi bahan bakar di SPBU milik perusahaan swasta.
Hal ini tentu menjadi kekhawatiran publik, apakah BBM yang dijual Pertamina sesuai dengan keterangan Research Octane Number (RON) yang tertera, atau BBM yang menjadi ketakutan Kementerian ESDM terhadap impor ilegal? Pertanyaan lanjutan lantas muncul: sebenarnya siapa yang membuat polemik ini menjadi masalah yang berlarut-larut, Pertamina dan Kementerian ESDM atau Badan Usaha Milik Swasta?
Polemik ini bisa menjadi permasalahan yang sangat besar, karena tujuannya terkesan hanya untuk menguntungkan pihak Pertamina saja. Dari satu kasus di atas, pihak Pertamina sebagai pihak penyedia bahan bakar justru terus-menerus mengambil sikap tidak mau salah. Mereka terus menyangkal bahwa mereka selalu memberikan bahan bakar terbaik yang sesuai dengan ketentuan.
Alqi Salaam Byhaqi adalah Mahasiswa Program Magister Universitas Indonesia jurusan Hukum dengan Peminatan Socio Legal Studies














