Kiprah Muzaffar Salim: Dari Menulis Skripsi Kebebasan Berekspresi hingga Advokasi Pemajuan HAM Bersama Lokataru

0
137
  • Oleh Hasnu Ibrahim

Nama Muzaffar Salim mungkin awalnya hanya bergema di ruang akademik, ketika ia menulis tugas akhir dalam meraih gelar sarjana hukum pada program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2024 lalu. Skripsi tersebut berupaya mengupas secara tajam soal kebebasan berekspresi di Indonesia.

Skripsi berjudul, “Kriteria Keterangan Ahli Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Terkait Pencemaran Nama Baik, Fitnah, dan Penyampaian Berita Bohong (Studi Putusan: Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023) di bawah bimbingan Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum dan Faris Satria Alam, M.H.

Karya intelektual tersebut patut diapresiasi. Mengapa? Karena Muzaffar mencoba mengulas sebuah tema klasik namun tetap berdarah segar di tengah arus konservatisme sosial dan represi kultural yang masih menjerat banyak suara di negeri ini. Namun, yang membedakan Muzaffar dari sekadar penulis teori adalah keberaniannya menjebol dinding ruang kuliah dan menjejakkan gagasan itu ke tanah kenyataan sosial.

Skripsi yang semula hanya lembar-lembar akademik berubah menjadi “peta moral dan politik” yang menuntunnya ke medan advokasi hak asasi manusia dan demokrasi bersama Lokataru Foundation.

Melalui karya intelektual tersebut, di mana Muzaffar membaca bahwa kebebasan berekspresi bukan hanya hak untuk berbicara, tetapi juga tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran di tengah kebisuan publik. Ia menyadari, teori tentang hak asasi tidak akan pernah hidup tanpa keberanian untuk menghadapinya dalam praksis sosial.

Kesaksian penulis sebagai rekan kerja di Lokataru, sosok Muzaffar terbilang orang muda yang telaten dalam merancang berbagai gerakan sosial dalam rangka pemajuan HAM dan partisipasi orang muda dalam urusan pemerintahan yang lebih baik dan demokratis.

Sejumlah terobosannya bersama Lokataru seperti merancang kelas kewargaan, Lokademia, pemuda berdaya dan berkarya, dan Lokanetwork. Sejumlah program tersebut semata-mata memberikan pengetahuan secara gratis seputar isu HAM, Demokrasi, dan Politik Kewargaan dengan memposisikan orang muda sebagai penggerak utama perubahan dan perbaikan bangsa.

Di sisi lain, dalam berbagai gerakan sosial, Muzaffar menolak untuk terjebak dalam romantisme aktivisme. Baginya, pemajuan HAM bukan proyek moral semata, tetapi proses dialektis antara kesadaran kritis dan tindakan konkret.

Tak mengherankan jika Muzaffar secara konsisten menggugat lembaga-lembaga yang menjadikan HAM sekadar jargon politik, mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi yang dikekang adalah pintu masuk menuju kemunduran demokrasi, serta mempercepat “otoritarianisme baru” yang hidup berdampingan dengan demokrasi prosedural.

Muzaffar juga menolak dikotomi antara “akademisi” dan “aktivis”. Ia menjembatani keduanya dengan membangun kesadaran kritis progresif, di mana teori menjadi alat analisis, dan aksi menjadi bentuk pengujian etis atas teori itu sendiri. Melalui forum-forum publik, aksi sosial dan kemanusian, hingga gerakan akar rumput, ia terus menegaskan bahwa membela kebebasan berekspresi bukan hanya soal melindungi hak individu untuk berbicara—tetapi juga soal menjaga ruang publik agar tetap rasional, inklusif, dan berkeadilan.

Kini, perjalanan intelektual dan advokasi HAM Muzaffar bukan lagi sekadar kisah pribadi, tetapi cermin bagi generasi muda yang sering terjebak antara idealisme dan pragmatisme. Dari skripsinya yang menyoal kebebasan berekspresi hingga kiprahnya dalam pemajuan HAM, ia menunjukkan bahwa ilmu bukan untuk disimpan dalam rak, melainkan untuk menyalakan percakapan dan perlawanan di tengah masyarakat yang masih sering dibungkam oleh rezim anti demokrasi.

Muzaffar Salim telah membuktikan kepada kita bahwa kebebasan berekspresi bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan titik awal dari keberanian untuk memanusiakan manusia. Kendati, dalam proses advokasi HAM dan pengembangan kapasitas publik tersebut ada harga yang harus Muzaffar bayar.

Perlu kami informasikan, hingga kini, Muzaffar Salim tengah mendekam di rumah tahanan kepolisian Polda Metro Jaya. Ia dituduh sebagai “dalang” kerusuhan pada 25-31 Agustus lalu. Penangkapan dan penetapan status tersangka kepada Muzaffar Salim telah mempertontonkan pada publik, di mana membela HAM, bersuara kritis, dan memberikan bantuan hukum gratis kepada warga dapat “dipenjara” oleh negara.

Hasnu Ibrahim adalah Manajer Riset dan Pengetahuan Lokataru Foundation/Juru Bicara Lokataru

Leave a reply