Prihatin Penahanan dan Kriminalisasi Aktivis, KPA: Aktivisme Bentuk Cinta Tanah Air, Bukan Antek Asing

Sekjen KPA Dewi Kartika usai menjenguk tahanan politik di Polda Metro Jaya, Senin (6/10/2025). Foto: Reza/Pedeo Project
JAKARTA, 6 Oktober 2025 – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan bahwa perjuangan para aktivis pro demokrasi yang ditahan karena bersuara kritis terhadap pemerintah adalah bentuk kecintaan terhadap tanah air, bukan antek asing seperti yang kerap dinarasikan oleh pemerintah.
Hal itu disampaikan Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA usai melakukan kunjungan solidaritas ke sejumlah aktivis yang ditahan di Polda Metro Jaya, Senin (6/10/2025). Dalam kunjungan rutin tersebut, KPA bersama Pergerakan Petani Banten, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menengok para aktivis seperti Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar, dan Muzaffar Salim, yang ditahan usai aksi demonstrasi menolak ketimpangan sosial dan pelanggaran hak rakyat pada Agustus lalu.
“Saya mewakili KPA menengok kawan-kawan semuanya, memberikan semangat, dukungan moral dan menyampaikan bahwa kami di luar akan terus menyuarakan agar ada desakan-desakan dari publik, dari gerakan masyarakat sipil, dari gerakan rakyat untuk mendesakkan pembebasan kawan-kawan yang sampai saat ini ditahan di Polda Metro Jaya,” ucap Dewi saat ditemui Pedeo Project.
Aktivisme Juga Wujud Bela Negara
Selain itu, Dewi menyampaikan keprihatinannya atas berlanjutnya kriminalisasi terhadap para aktivis dan pejuang rakyat di berbagai daerah. Ia menegaskan, berpikir dan bersikap kritis bukanlah pelanggaran, melainkan bagian dari penegakan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
“Justru Republik ini berdiri fondasinya batu bata, kemerdekaan kita itu di raih dari pemikiran-pemikiran kritis. Dari pemikiran-pemikiran mendobrak sistem yang menurut kita itu harus didobrak karena memang terjadi ketidakadilan dimana-mana,” ujar Dewi.
Pemerintah dinilai keliru jika mengaitkan sikap kritis masyarakat dengan kepentingan asing. Dewi menyebut, tudingan bahwa demonstran adalah antek asing merupakan bentuk pembalikan logika yang justru menutupi ketergantungan pemerintah sendiri terhadap kepentingan modal dan korporasi global.
Di kesempatan tersebut, Dewi juga menyinggung kondisi rakyat di sektor agraria yang masih mengalami ketimpangan struktural dan perampasan tanah. Ia menilai pemerintah lebih banyak mengistimewakan korporasi besar ketimbang melindungi hak-hak petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum buruh.
“Justru penjarahan yang kami alami di desa-desa, perjuangan petani itu banyak tanah-tanahnya dijarah karena pemerintah ini masih terus menerus memberikan privilege atau keistimewaan kepada korporasi-korporasi skala besar termasuk ke badan-badan usaha skala besar yang juga terafiliasi ke asing yang itu difasilitasi oleh negara,” ujar Dewi.
KPA, lanjut Dewi, akan terus mendorong solidaritas lintas sektor dari organisasi tani, buruh, masyarakat adat hingga mahasiswa untuk mengawal proses hukum para aktivis dan memastikan negara menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Kritik Adalah Bentuk Cinta Tanah Air
Menutup pernyataannya, Dewi menegaskan bahwa perjuangan aktivis yang kini ditahan adalah bentuk kecintaan terhadap tanah air dan upaya menjaga cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa.
“Jadi kita harus terus mendesakkan agar penyelenggara negara itu tidak antipati kepada pemikiran-pemikiran kritis. Justru kita harus terus menyuarakan itu. Jadi saya pikir teman-teman di dalam itu adalah teman-teman yang membuktikan bahwa mereka justru cinta pada tanah air,” tegas Dewi.
















