Menelusuri Sejumlah Karya Intelektual dan Advokatif Delpedro Marhaen

0
112
  • Oleh Hasnu Ibrahim

Penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap Delpedro Marhaen dan ratusan orang lainnya pada Agustus hingga September 2025 lalu menjadi potret nyata dalam pengkerdilan ruang sipil (shrinking civic space) di Indonesia. Peristiwa Agustus kelabu lalu dapat disebut sebagai pola berulang—pemberangusan kebebasan sipil dan hak asasi manusia di negeri ini.

Penangkapan Delpedro dkk bukan persoalan sepele, ini harus ditelusuri lebih dalam, di mana ruang berpikir dan bersuara di negeri ini kian sesak dan kekuasaan semakin takut pada nalar yang independen serta merdeka.

Dalam dunia aktivisme, Delpedro bukan nama asing. Ia kerap dipandang sebagai sosok orang muda yang dapat memadukan aktivisme dan akademik. Lewat berbagai jurnalnya — mulai dari Melawan Pengkerdilan Ruang Sipil, Pelajar di Garis Depan, hingga Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila — Delpedro secara konsisten menyoroti; bagaimana negara, di balik jargon demokrasi dan stabilitas, justru memelihara pola-pola represi yang sistematis. Kini, sketsa yang disampaikan itu menimpa dirinya sendiri.

Bagi rekan kerja di Lokataru, Delpedro kerap dipandang sebagai aktivis dan intelektual muda yang berani menggugat; batas antara hukum dan kekuasaan. Dalam berbagai risetnya, ia menyingkap bagaimana hukum sering dijadikan alat menundukkan suara kritis, bukan menegakkan keadilan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisannya yang berjudul, “Perjuangan Masyarakat Sipil Menghapus Pasal Kabar Bohong yang Kolonial”. Melalui riset ini ia menunjukkan bagaimana pasal-pasal karet tentang “kabar bohong” dan “ujaran kebencian” diwarisi dari logika kolonial yang menempatkan rakyat sebagai ancaman bagi ketertiban umum.

Logika itulah yang tampaknya hidup kembali hari-hari ini. Setiap kritik, seberapa pun ilmiahnya, bisa dianggap provokasi. Bahkan, setiap pikiran yang berbeda, bisa dibungkam dengan pasal-pasal karet. Dalam banyak diskursus hukum disebut “pemidanaan yang dipaksakan”.

Penangkapan ratusan aktivis usai aksi unjuk rasa pada Agustus lalu, dapat memberikan sinyal pada kita; Negara seolah mengulang bab lama dalam buku sejarah represi—hanya sampulnya saja yang berganti demokrasi. Tapi dalam praktiknya, negara adalah “leviathan demokrasi” modern. Mengapa? Warga dipaksa takut, warga dipaksa diam, dan warga dipaksa agar tidak menggunakan hak konstitusionalnya dalam mengontrol negara yang kian memburuk. Ini lah monster demokrasi modern yang digambarkan oleh banyak intelektual sosial politik.

Kemudian, dalam jurnal berjudul, “Hak Asasi Manusia (Dipinggirkan) di Era Joko Widodo”, Delpedro menulis bahwa pelanggaran HAM modern tidak selalu ditandai oleh senjata dan darah, melainkan oleh pembungkaman epistemik. Pola yang kerap digunakan negara yakni pemusnahan gagasan dan kebebasan berpikir melalui instrumen hukum dan tekanan sosial. Maka, ketika seorang peneliti yang menulis tentang hak sipil dan kebebasan akademik kini justru ditangkap, sesungguhnya kita sedang menyaksikan bagaimana nalar dikriminalisasi era Prabowo-Gibran.

Ironisnya, karya-karya Delpedro justru telah lebih dulu memprediksi situasi ini. Dalam Protes sebagai Partisipasi: Perlindungan Hak Sipil dan Pelajar Politik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, ia menulis bahwa protes adalah bentuk tertinggi partisipasi warga negara. Kritik bukan ancaman bagi demokrasi, tetapi jantung yang membuatnya tetap hidup. Namun, pemerintah hari ini tampaknya lebih nyaman dengan rakyat yang diam daripada rakyat yang berpikir.

Sekali lagi, penangkapan Delpedro harus dibaca sebagai peringatan keras bagi dunia akademik dan masyarakat sipil di Indonesia. Ini bukan lagi soal satu orang dan ratusan orang yang masih mendekam di rumah tahanan kepolisian, tetapi tentang masa depan kebebasan berpikir di republik ini. Jika ruang diskusi dikontrol, jika suara berbeda diserang, jika riset dianggap subversif, maka universitas dan masyarakat sipil tak lagi berfungsi sebagai ruang pencarian kebenaran, melainkan hanya pelengkap dekorasi demokrasi prosedural.

Padahal, Negara yang takut pada pikiran kritis adalah negara yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Ini lah yang sedang ditunjukkan oleh Prabowo-Gibran dalam 1 tahun pemerintahannya, di mana mereka sedang tidak percaya diri dalam menjalankan roda pemerintahan. Di saat bersamaan, ketidak percaya dirian rezim hari ini disebabkan oleh makin berkurangnya legitimasi warga terhadap janji-janji politik yang pernah diumbar-umbar saat kampanye lalu.

Di tengah rezim yang tidak percaya diri dan ketakutan di level warga itu, Delpedro Marhaen muncul ke ruang publik, ia menjadi cermin betapa rapuhnya komitmen negara terhadap nilai-nilai Pancasila yang ia bela dalam berbagai risetnya— kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan yang beradab diberangus oleh rezim politik yang moral publiknya rusak.

Pada titik itulah, kita harus sepakat pada ungkapan lama—Negara boleh menahan tubuh seseorang, tapi tidak bisa menahan ide. Karena seperti yang pernah ditulis Delpedro: “Pikiran yang merdeka tak pernah bisa dipenjara.”

Akhirnya, penulis dengan sangat bangga mengatakan: Delpedro Marhaen adalah perpaduan aktivisme dan akademisi muda yang tajam dalam pikiran, konsisten dalam tindakan, serta unggul dalam karya.

Setidaknya, berikut sejumlah karya intelektual dan advokatif Delpedro yang patut kita tumbuh suburkan dalam gerakan masyarakat sipil dan orang muda di Indonesia;

1. Pengaruh Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Digitalisasi UMKM di Tengah Pandemi
2. Penundaan Pemilihan Umum Menurut Sistem Hukum Indonesia
3. Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Kebebasan Beragama dalam Sistem Hukum Pancasila
4. Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
5. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan Dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila
6. Praktik dan Masa Depan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara
7. Hak Asasi Manusia, Keadilan Transisi yang Tidak Liberal, dan Konsesi Taktis di Kamboja dan Indonesia
8. Buku Pegangan Routledge tentang Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara
9. Perjuangan Masyarakat Sipil Menghapus Pasal Kabar Bohong yang Kolonial
10. Protes sebagai Partisipasi: Perlindungan Hak Sipil dan Pelajar Politik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
11. Cipta Kerja
11. Hak Asasi Manusia (Dipinggirkan) di Era Joko Widodo
12. Pelajar di Garis Depan: Diabaikan dan Diserang Negara
13. Usaha Membunuh Pikiran Rocky Gerung: Laporan Serangan Kebebasan Berpikir dan Berpendapat terhadap Rocky Gerung
14. Melawan Pengkerdilan Ruang Sipil
15. Melanggar HAM di Hari HAM
16. Diberangus di Kampus
17. Pilkada Papua: Pelanggaran HAM dan Masalah Kepemiluan
18. Pelanggaran Hukum dan HAM dalam PSN Pelabuhan Patimban
19. Laporan Pelanggaran HAM di Sumba Timur

Hasnu Ibrahim adalah Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru/Juru Bicara Lokataru

Leave a reply