Negara Terbukti Melanggar Konstitusi, PJI: Bebaskan Para Aktivis Segera!

Aliansi Perempuan Indonesia menggelar aksi tabur bunga di depan Polda Metro Jaya, Rabu (17/09/2025). Foto: Yasyri/Pedeo Project
JAKARTA, 23 Setember 2025 – Desakan agar polisi segera membebaskan Delpedro Marhaen dkk terus mengalir. Terbaru, Perempuan Jaga Indonesia (PJI) menyampaikan secara tegas bahwa penangkapan dan penahanan Delpedro cs merupakan upaya kriminalisasi aktivis.
PJI telah merilis keterangan pers yang memuat delapan ruang lingkup temuan terkait kriminalisasi aktivis dan lima poin tuntutan untuk negara, mencakup reformasi aparat penegak hukum hingga hukum yang berlaku.
Dalam keteranga tersebut, PJI juga mengecam keras tindakan represif kepolisian dalam aksi demonstrasi selama Agustus-September 2025. PJI menilai, demonstrasi tersebut merupakan hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Tindakan kekerasan berlebihan oleh kepolisian mengakibatkan 10 orang tewas dan satu orang dalam kondisi koma. PJI juga menyayangkan sikap pemerintah yang belum membentuk tim investigasi independen atas jatuhnya korban jiwa tersebut.
Sementara, negara justru membiarkan kriminalisasi terhadap para peserta aksi terus berlangsung, termasuk penangkapan terhadap sejumlah aktivis. Beberapa nama yang disebut termasuk Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru Foundation), Syahdan Hussein (admin akun Gejayan Memanggil), serta sejumlah orang lainnya dari kalangan sipil, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga.
Berdasarkan laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) terdapat tindak penganiayaan, penyiksaan, peretasan data pribadi (doxing), hingga penghilangan orang secara paksa. PJI juga melakukan kunjungan ke sejumlah tahanan aktivis di Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri.
“PJI menyesalkan negara yang menolak membentuk tim investigasi atas tewasnya 10 korban, bahkan membiarkan kepolisian melakukan penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-orang yang diduga terlibat aksi,” tegas PJI dalam keterangan yang diterima Pedeo Project, Kamis (25/9/2025).
Berikut delapan rincian temuan PJI:
- Penangkapan yang sewenang-wenang tanpa dasar yang jelas: tanpa surat penangkapan, disertai ancaman, tanpa kesempatan untuk meminta penjelasan. Pemeriksaan juga dilakukan secara sewenang-wenang dan tak manusiawi: dilakukan tanpa didampingi pendamping hukum/pengacara, dilakukan di tengah malam (pukul 00.00 WIB) selama berjam-jam dan bahkan ada yang beberapa hari berturut-turut tanpa jeda. Pemeriksaan terhadap korban perempuan bukan oleh polisi perempuan atau tidak didampingi polisi perempuan. Hal demikian berdampak pada kondisi fisik dan mental korban jatuh hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit dan seorang ibu muda kehilangan hak reproduksi berupa hak menyusui bayi.
- Larangan membawa dan mendapatkan alat tulis dengan alasan yang mengada-ada, yaitu kekhawatiran bahwa mereka akan mencoret-coret dinding penjara. Ini menjadi bukti bahwa negara juga sedang melakukan penyiksaan secara psikis kepada para korban. Menulis adalah salah satu cara mengurangi tekanan psikis apalagi mereka ditempatkan di ruang sempit berjejalan dengan tahanan lain dengan fasilitas yang kurang layak.
- Hak mendapatkan kunjungan dibatasi dan cenderung dipersulit tanpa alasan yang jelas. Para tahanan ditempatkan di lokasi yang berbeda, dengan aturan/kebijakan yang berbeda yang sewaktu-waktu dan mendadak berubah. Jam dan durasi kunjungan juga diubah dan dibatasi menjadi semakin sempit sehingga tidak cukup waktu bagi keluarga, pengacara atau pendamping lainnya untuk bertemu dengan tahanan.
- Pembatasan akses tahanan perempuan untuk bertemu dengan anaknya yang masih menyusui. Pembatasan ini berdampak pada penghilangan hak anak untuk mendapatkan ASI.
- Tidak disediakan pendampingan psikolog. Negara bukan hanya mengkriminalisasi mereka tetapi juga menghukum mereka dengan tekanan psikis tanpa ada pendampingan psikologis.
- Ada tahanan yang tidak didampingi oleh pengacara independen sehingga berdampak pada keraguan untuk mendapatkan keadilan karena tidak adanya jaminan bahwa pengacara akan berpihak pada kepentingan klien.
- Penahanan terhadap anak yang diduga terlibat dalam aksi oleh aparat kepolisian merupakan tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak. Aparat tidak hanya gagal memperhatikan kerentanan anak, tetapi juga membatasi kebebasan berekspresi mereka serta mengabaikan hak atas pendampingan hukum yang layak. Hal ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap kewajiban hukum nasional maupun standar internasional.
- Negara ternyata terus melakukan perburuan terhadap warga sipil dengan alasan yang semakin mengada-ngada dan cenderung konyol atau di luar nalar. Di Jawa Timur, misalnya, warga sipil ditangkap dengan alasan memiliki buku tentang Marxisme yang ditulis oleh dosen filsafat Franz Magnis Suseno. Padahal buku ini memuat kritik terhadap Marxisme. Di Jawa Barat, penangkapan aktivis disertai dengan penyitaan buku-buku filsafat sebagai barang bukti. Republik ini sudah 80 tahun merdeka tapi rakyatnya belum juga merdeka untuk membaca, berpikir, dan menyampaikan pendapat.
Berikut lima tuntutan utama PJI kepada negara:
- Polisi untuk menghentikan kriminalisaisi aktivis pro demokrasi karena hal tersebut inkonstitusional. Stop menangkapi rakyat karena kepemilikan buku sebagai sumber mencerdaskan bangsa karena hal tersebut juga inkonstitusional.
- Polisi agar melepas semua tahanan terkait demonstrasi pada Bulan Agustus 2025 karena alasan mereka menyatakan pendapat benar adanya. Presiden sudah menindaklanjuti Tuntutan 17/8, artinya alasan mereka berdemo dibenarkan dan dilaksankan presiden.
- Polisi, agar menghormati dan melindungi hak maternity perempuan dan hak anak yang berhadapan dengan hukum. Taati SOP polisi dalam menegakkan hukum: penangkapan, pemeriksaan, penahanan agar tanpa kekerasan dan sesuai HAM.
- Presiden agar fokus ke permasalahan struktural untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana Tuntutan 17/8 dan Tuntutan 45 yang disuarakan PJI. Libatkan rakyat dan perempuan dalam mengelola Program MBG sehingga tidak merusak tujuan Kedaulatan Pangan, Stop PHK masal dan atasi pengangguran, Stop proyek-proyek mercusuar penyulut ketimpangan, atasi KKN yang melemahkan ketahanan dan keberlanjutan NKRI.
- Presiden untuk segera melaksanakan reformasi POLRI tanpa mengabaikan perspektif keadilan gender dalam reformasi tersebut.
(Reza)














