Potensi Kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum di RKUHAP Baru, Presiden Diminta Tarik Draf RUU

0
15

JAKARTA, 14 November 2025 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengecam langkah pemerintah dan DPR yang dinilai terburu-buru mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam rapat pleno pada Kamis (13/11), Komisi III DPR dan pemerintah sepakat membawa rancangan itu ke paripurna untuk disahkan.

Koalisi menilai, proses pembahasan berlangsung ugal-ugalan demi mengejar target pemberlakuan KUHAP baru yang direncanakan sejalan dengan KUHP pada Januari 2026. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut berbagai masukan publik melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) maupun dokumen tertulis “tak pernah direspons, apalagi diakomodasi” dalam pembahasan.

Dalam keterangan pers tertulis pada Jumat (14/11), LBH Jakarta mengungkap sederet persoalan substansial yang masih bercokol dalam draf. Pasal-pasal tersebut dinilai longgar, berpotensi menjadi pasal karet, dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Dalam Pasal 16 RUU KUHAP, polisi diberikan kewenangan luas untuk menyelidiki semua jenis tindak pidana tanpa batas dan tanpa pengawasan hakim. Koalisi mengingatkan, ruang gelap ini bisa dimanfaatkan aparat untuk melakukan penjebakan atau merekayasa tindak pidana.

 Sedangkan, pada Pasal 5, terdapat perluasan tindakan aparat pada tahap penyelidikan, termasuk menangkap, menggeledah, dan menahan seseorang meski dugaan tindak pidana belum terkonfirmasi. Padahal dalam aturan yang berlaku saat ini, penahanan pada tahap penyelidikan dilarang.

RUU tetap saat ini membiarkan aparat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa persetujuan pengadilan. Ketentuan masa penangkapan yang berlebihan dalam berbagai undang-undang sektoral juga tak diperbaiki dalam pasal 90 dan 93 RKUHAP baru.

“Ruang kesewenang-wenangan aparat terbuka lebar karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan hebeas corpus,” sebut LBH Jakarta.

Pasal 124 memberi penyidik kewenangan menyadap tanpa izin hakim dengan dalih undang-undang khusus yang belum ada. Ketentuan lain (Pasal 105, 112A, 132A) juga membolehkan penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran tanpa penetapan pengadilan.

Pasal 74A menjelaskan, kesepakatan damai antara pelaku dan korban sebelum ada kepastian tindak pidana atau penyelidikan itu memungkinkan. LBH Jakarta menegaskan, “Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah subjek pelaku dan korban.”

Koalisi menilai mekanisme RJ dalam draf tersebut miskin check and balance karena hakim hanya diberi peran sebagai “stempel” tanpa evaluasi substansial sebagaimana tertuang dalam pasal 78 dan 79.

Selain itu, Pasal 137A memosisikan penyandang disabilitas mental dan intelektual sebagai pihak tanpa kapasitas hukum. Koalisi menilai, rumusan ini membuka peluang perampasan kemerdekaan tanpa batas waktu dan tanpa mekanisme pengawasan.

“Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” sebut LBH Jakarta tertulis.

 RUU KUHAP sendiri dijadwalkan mulai berlaku pada (2/1/2026) nanti. Namun, lebih dari sepuluh peraturan pemerintah yang menjadi aturan pelaksana baru akan dikebut dalam satu tahun. Koalisi memperingatkan, kondisi ini dapat menciptakan kekacauan karena aparat dan warga belum siap dalam infrastruktur serta pengetahuan.

“Koalisi juga sudah sering mneyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KIHAP baru ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draf terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam Tingkat I,” tegas LBH Jakarta tertulis.

Desakan Kepada Pemerintah

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak:

  1. Presiden menarik draf RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjtkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna.
  2. Pemerintah dan DPR merombak substansi draf KUHAP per 13 November 2025 dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balance, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil.
  3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHAP baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.

 

 

 

Leave a reply