Pudarnya Partisipasi yang Bermakna: Potret Legislasi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran

M. Fandi Denisatria
- Oleh M. Fandi Denisatria
Pada suatu sidang pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK) seorang Hakim melontarkan pertanyaan kepada perwakilan pemerintah yang hadir tentang di mana undang-undang yang disahkan bisa diakses. Jika Hakim Konstitusi saja sampai berhari-hari mencari dokumen undang-undang yang sudah disahkan dan melayangkan pertanyaan kepada perwakilan pemerintah kemudian bagaimana warga masyarakat dapat memperoleh dokumen yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dengan mudah?
Masih di tahun yang sama, sekelompok masyarakat sipil sampai harus mendatangi salah satu hotel elite di daerah Jakarta hanya untuk menyampaikan aspirasinya terkait pelaksanaan rapat dalam rangka pembentukan suatu undang-undang. Meski beberapa hari kemudian kelompok masyarakat sipil diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat – setelah peristiwa di salah satu hotel tersebut – untuk mengadakan rapat dengar pendapat (RDP), namun hingga saat ini saya belum mendengar apakah perwakilan yang hadir memperoleh penjelasan atau jawaban atas pendapat atau masukan-masukan yang diberikan.
Peristiwa di atas memberikan kesan setidaknya bagi saya tentang betapa tidak mudahnya masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Jika dilihat dari jangka waktu pembahasan terhadap perubahan udang-undang yang begitu cepat rasanya sulit untuk menyimpulkan bahwa prinsip partisipasi yang bermakna telah dipenuhi.
Ambil contoh pembahasan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hingga saat ini belum disahkan. Hingga saat ini masih banyak masukan yang diberikan oleh masyarakat. Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil memberikan masukan agar perubahan KUHAP dilakukan secara bertahap.
Meski muatannya masih diperdebatkan, namun secara kasat mata perumusan undang-undang tersebut memiliki durasi yang lebih lama. Secara jangka waktu pembahasan KUHAP memerlukan waktu yang lebih panjang. Jikalau alasannya karena KUHAP mengatur hajat hidup orang banyak sehingga pembahasannya memerlukan waktu yang lebih panjang dan pembahasan mendalam serta wajib mendengar aspirasi dari warga negara, maka bagaimana kita dapat membenarkan jika ada undang-undang dibahas dengan waktu yang singkat? Toh undang-undang akan mengatur dan mengikat bagi tiap-tiap warga negara.
Setidaknya terdapat dua pembentukan undang-undang, menurut saya mengindikasikan mulai pudarnya pemenuhan hak-hak yang merupakan prasyarat pada konsep partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan undang-undang oleh negara. Setidaknya kesimpulan tersebut diambil dari dalil para pemohon dan dinamika yang terjadi dalam pengujian formil terhadap kedua undang-undang yang disebutkan berikut ini.
Pada pengujian formil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pada perkara No. 64/PUU-XXIII/2025 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada perkara No. 81/PUU-XXIII/2025, para pemohon mendalilkan ketiadaan pemenuhan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukannya.
Meski kedua permohonan tersebut berakhir dengan penolakan oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi yang perlu dijadikan bahan evaluasi oleh pembentuk undang-undang adalah adanya sebagian masyarakat yang merasa tidak dilibatkan pada pembentukan undang-undang tersebut. Ihwal alasan atau pertimbangan dalam menolak permohonan para pemohon pun masih bisa diperdebatkan seperti seputar penyebarluasan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) terkini, Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan Naskah Akademik (NA) hingga cepatnya proses pembahasan.
Gambaran lain misalnya dilihat dari dinamika yang nampak pada perkara pengujian formil undang-undang tersebut. Pada kedua putusan perkara uji formil baik No. 64/2025 maupun No. 81/2025 Hakim Konstitusi tidak memutus dengan suara bulat, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) yang pada pokoknya memberikan catatan-catatan dalam pembentukan undang-undang yang tengah diuji pembentukannya tersebut dan menyatakan sepatutnya dalil permohonan para pemohon merupakan dalil yang beralasan.
Partisipasi yang Bermakna
Sejauh pengamatan terhadap putusan uji formil atas undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didapati dalil mengenai sulitnya para pemohon sebagai warga negara untuk memperoleh dokumen-dokumen terkait pembentukan undang-undang seperti RUU terkini dan NA. Dokumen-dokumen tersebut diperlukan bagi masyarakat yang hendak memberikan masukan atau pendapatnya agar proses tersebut melahirkan suatu bentuk partisipasi yang benar-benar bermakna.
Pada Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, MK mengenalkan prinsip partisipasi yang bermakna atau meaningful participation dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip tersebut merupakan wujud kedaulatan rakyat pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) prasyarat untuk mengukur partisipasi masyarakat yang benar-benar bermakna, yaitu pemenuhan terhadap hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk memperoleh penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Lon L. Fuller (1964, 39) menyatakan dalam bukunya The Morality of Law, gagalnya pembentukan hukum salah satunya karena failure to publicize atau hukum yang tidak diumumkan. Tindakan tersebut, menurutnya masuk dalam eight ways to fail to make law.
Melihat pendekatan Fuller di atas, secara ekstensif kita dapat memprediksi konsekuensi jika hukum atau proses pembentukannya tidak dilakukan secara terbuka (publikasi). Ekses seperti aksi protes, baik seperti yang terjadi pada tahun 2019 hingga peristiwa yang disebutkan di awal menandakan ekspresi oleh sekelompok masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dan tertutupnya pembahasan atas suatu undang-undang. Pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah tidak bisa menutup mata dengan mengatakan ekspresi hanya dilontarkan hanya oleh sebagian kecil warga karena sejatinya kualitas demokrasi perwakilan tengah dipertaruhkan untuk memperkuat legitimasi.
Evaluasi Legislasi
Pemerintah – yang juga merupakan pembentuk undang-undang – memiliki kewajiban menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) tiap-tiap hak asasi warga negara. Setahun berjalan pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memastikan setidak-tidaknya pemenuhan prasyarat partisipasi yang benar-benar bermakna. Langkah perbaikan terhadap proses legislasi dapat dimulai dari menyediakan kemudahan bagi masyarakat mengakses informasi atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang.
Tanpa bermaksud membandingkan, pada situs MK setiap orang dapat mengakses hingga risalah pada tiap-tiap persidangan baik secara tertulis maupun audio atau rekaman suara. Tindakan tersebut menurut saya adalah hal minimal yang harus dilakukan.
Dari kemudahan akses terhadap informasi yang berkaitan terhadap proses pembentukan undang-undang, masyarakat dapat mudah memberikan masukan dan proses diskusi dapat terjadi.
Seorang penyair Amerika John Godfrey Saxe menyebutkan “Laws, like sausages, cease to inspire respect in proportion as we know how they are made,” mungkin untuk menggambarkan kepada khalayak jikalau proses pembentukan hukum seperti proses pembuatan sosis yang tidak sesedap hasilnya.
Jikalau sudah seperti itu maka hanya keterbukaan dan partisipasi yang benar-benar bermakna yang dapat menjadi penawar bagi hal yang “tidak sedap” yaitu seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi Saldi Isra yakni pembahasan yang diam-diam dan penuh rahasia (secret lobbying) dan penggunaan pengaruh untuk mendapatkan keuntungan bagi golongan politik tertentu (influence peddling).
M. Fandi Denisatria merupakan advokat di Haris Azhar Law Office/Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Indonesia (UI)















