Yang Perlu Kamu Tahu Tentang Bisnis dan HAM

0
25
  • Redaksi

Pada tahun 2021, Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework (UNGPs) resmi telah berusia 10 tahun. UNGPs sedari awal dirancang untuk memberikan panduan praktis bagi aktivitas bisnis yang sepenuhnya sadar akan kerugian dan dampak hak asasi manusia. UNGPs memandu entitas negara dan bisnis melalui tiga pilar utamanya yang terdiri dari; (i) kewajiban negara untuk melindungi pelanggaran HAM oleh perusahaan, (ii) tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM, (iii) penyediaan akses pemulihan bagi korban.

Kelahiran UNGPs dengan demikian merupakan sebuah momentum dalam skala global untuk mengingatkan kepada sektor swasta (perusahaan/korporasi) bahwa aktivitas bisnis yang dijalankan secara konvensional sudah tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Tren akuntabilitas, transparansi, serta krisis ekologi kian memaksa aktor perusahaan untuk me-redesign visi dan strategi mereka dalam menjalankan operasional perusahaan dengan prinsip-prinsip bisnis yang bertanggung jawab (responsible business).

Profit tidak lagi menjadi capaian tunggal. Sebab, pertimbangan persoalan sosial dan lingkungan lebih mampu menjamin aktivitas bisnis yang berkelanjutan dan jangka panjang. UNGPs melalui senjata pamungkasnya; ‘uji tuntas HAM’, meminta korporasi untuk mendeteksi sejak dini hingga mengurangi serta mengkomunikasikan bagaimana mereka menangani dampak buruk hak asasi manusia sampai pada rantai pasok dan mitra bisnisnya.

Dalam peringatan 10 tahun sejak pertama kali diterbitkan pada 16 Juni 2011, UN Working Group on Business and Human Rights (UNWG) meluncurkan proyek UNGPs 10+ dengan tujuan untuk mengevaluasi perjalanan UNGPs selama ini dan tantangan dalam satu dekade ke depan (UNWG, 2021). Dalam proyek tersebut, UNWG menyadari bahwa perkembangan signifikan telah dilakukan oleh negara dalam mengimplementasikan UNGPs.

Beberapa negara telah mengadopsi UNGPs dalam hukum nasional mereka. Di Inggris dan Australia terdapat regulasi Modern Slavery Act, di Jerman terdapat The Act on Corporate Due Diligence Obligations in Supply Chains, di Belanda terdapat Child Labour Due Diligence Act, di Perancis terdapat Corporate Duty of Vigilance Law. Teranyar, pada 13 Juni 2024 silam, Uni Eropa (UE) telah memberlakukan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD). Selain itu, terdapat perkembangan pada penerbitan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait bisnis dan HAM. Tercatat sebanyak 30 negara telah menerbitkan RAN, 18 negara sedang mengembangkan RAN (Setara Institute & SIGI, 2023).

Pada sisi korporasi, penerapan UNGPs khususnya terkait dengan proses uji tuntas HAM masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam riset World Benchmark Alliance pada Juli 2024, ditemukan dari 2.000 korporasi yang menjadi objek penelitian, 90 persen korporasi ditemukan belum mengintegrasikan isu HAM dalam praktik bisnis. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di UE dan OECD tercatat memiliki kinerja yang lebih baik pada isu HAM. Sedangkan negara-negara G20, masih belum menunjukkan hasil di atas rata-rata keseluruhan pada 18 indikator yang diterapkan dalam riset tersebut (Setara Institute & SIGI, 2024).

Secara umum, perkembangan penerapan UNGPs oleh negara dan korporasi tetap menyisakan kesenjangan. Sejalan dengan temuan UNWG (2021), kesenjangan tata kelola dalam penerapan UNGPs diakibatkan karena tidak koherennya kebijakan negara dan sektor bisnis. Hal ini berkontribusi masih ditemukannya pelanggaran HAM oleh korporasi yang terus terjadi.

Kesenjangan yang terjadi patut diduga akibat absennya peran negara/pemerintah untuk mengatur dan memberikan panduan bagi korporasi dalam menghormati HAM. Tanpa standar atau pedoman, korporasi pada akhirnya berjalan sendiri-sendiri melalui inisiatif sukarelanya. Absennya peran pemerintah juga memengaruhi praktik penghormatan HAM oleh korporasi yang dilakukan atas dasar kepentingan praktis semata.

Dengan meningkatnya tren praktik bisnis yang bertanggung jawab, penerapan praktik uji tuntas HAM oleh korporasi diselenggarakan hanya untuk memenuhi syarat agar dapat terlibat dalam pasar global. Sehingga, hal ini berpotensi meningkatkan praktik greenwashing & rightwashing. Korporasi hanya memburu dan memanfaatkan ‘sertifikat telah melakukan uji tuntas HAM’ tanpa mempedulikan efek buruk HAM secara riil di lapangan.

Melalui inisiatif yang hanya bersifat sukarela dan sekadar mengejar ‘stempel’ telah melakukan uji tuntas HAM, korporasi pada akhirnya menyandarkan penghormatan HAM pada layanan swasta (auditor pihak ketiga, sertifikasi tertentu, serta multistakeholder initiative). Terhadap skema layanan swasta tersebut, beberapa riset yang dilakukan Human Rights Watch (2022), European Center For Constitutional and Human Rights (2021), Stichting Onderzoek Multinationale Ondernemingen (2022) menunjukkan kegagalan skema ini untuk mendeteksi dan mengurangi dampak HAM pada aktivitas bisnis.

Oleh karenanya, skema layanan swasta tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya upaya korporasi dalam menjalankan tanggung jawab penghormatan terhadap HAM. Pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap praktik tersebut melalui pemberlakuan standar dan kewajiban melakukan uji tuntas HAM berdasarkan standar uji tuntas HAM tertentu.

Kewajiban Negara atau Pemerintah Untuk Melindungi HAM Dalam UNGPs

Negara/pemerintah memiliki peran sentral dalam mengatur korporasi yang sepenuhnya mempertimbangkan aspek HAM dalam menjalankan aktivitasnya. Kewajiban ini selaras dengan kewajiban negara di bawah hukum HAM internasional. Pilar 1 UNGPs (Prinsip 1-10) telah menegaskan peranan itu melalui kewajiban negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran oleh aktivitas bisnis. Pilar 1 UNGPs mengetengahkan kewajiban melindungi HAM dari pelanggaran HAM akibat aktivitas bisnis sebagai upaya preventif oleh negara/pemerintah.

Prinsip 1 UNGPs mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga termasuk bisnis dalam wilayah dan/atau yurisdiksi mereka. Untuk itu, Prinsip 1 menegaskan bahwa negara perlu mengambil langkah dan tindakan yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memperbaiki pelanggaran HAM oleh korporasi melalui kebijakan, legislasi, regulasi, serta ajudikasi yang efektif (UNDP, 2023).

Kewajiban negara untuk melindungi HAM akibat pelanggaran yang disebabkan oleh aktivitas korporasi secara umum melingkupi (Lagoutte, 2014);

  1. Kewajiban untuk memastikan perlindungan HAM melalui proses legislasi dan memastikan perlindungan bagi kelompok rentan;
  2. Kewajiban untuk menyelidiki, menghukum, dan memperbaiki potensi pelanggaran HAM oleh korporasi;
  3. Kewajiban untuk menginformasikan dan memantau aktivitas bisnis yang dilakukan pada wilayah yang berisiko tinggi, seperti industri ekstraktif, industri kimia, serta industri militer dan keamanan swasta.

Kewajiban ini menyiratkan negara/pemerintah untuk berupaya dalam menciptakan lingkungan yang dapat mendukung penghormatan korporasi pada HAM (ELSAM, 2019), melalui:

  1. Menciptakan kebijakan/peraturan yang koheren yang sehubungan dengan bisnis;
  2. Menumbuhkan penghormatan bisnis terhadap HAM di dalam negeri maupun di luar negeri;
  3. Mengambil langkah dan tindakan khusus terkait dengan hubungan negara dan bisnis seperti kepemilikan atau ketika suatu negara melakukan transaksi komersial, seperti pengadaan barang atau perdagangan atau dukungan kredit ekspor.

Kemudian, melalui Prinsip 3 UNGPs (UNDP, 2023), kewajiban untuk melindungi tersebut dijabarkan melalui tindakan seperti;

  1. Menegakkan hukum yang ditujukan, atau memiliki dampak, untuk menuntut badan usaha agar menghormati hak asasi manusia, dan secara periodik menilai kecukupan hukum dan menangani kesenjangan yang ada;
  2. Memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang mengatur pembentukan dan operasi badan usaha, seperti undang-undang perusahaan, tidak membatasi namun memungkinkan bisnis untuk menghormati hak asasi manusia;
  3. Menyediakan panduan yang efektif bagi badan usaha tentang bagaimana menghormati hak asasi manusia dalam operasi mereka;
  4. Mendorong, dan jika patut, mensyaratkan badan usaha untuk mengomunikasikan cara mereka mengatasi dampak hak asasi manusia mereka.

Penjelasan Prinsip 3 juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh berasumsi bahwa keterlibatannya pada sektor bisnis akan mengganggu mereka. Sehingga, dalam menjalankan Pilar 1, pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan ‘smart mix’ (nasional dan internasional, wajib dan sukarela) untuk menanamkan penghormatan sektor bisnis pada HAM.

Selain itu, Prinsip 4 UNGPs (UNDP, 2023) juga menegaskan kewajiban khusus negara pada tema hubungan negara dan bisnis melalui korporasi yang dimiliki atau dikendalikan oleh negara, seperti Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD). Negara perlu mengambil langkah-langkah tambahan untuk melindungi pelanggaran HAM oleh aktivitas BUMN/BUMD melalui penerapan uji tuntas HAM dan laporan kinerja HAM dari BUMN/BUMD sebagai bentuk komitmen negara dalam menerapkan Pilar 1 UNGPs.

Negara juga perlu mengambil langkah tambahan dan memusatkan perhatian pada isu seperti ketika negara melakukan transaksi ekonomi/komersial kepada badan usaha (Prinsip 6), pengadaan publik (Prinsip 5), perjanjian investasi (Prinsip 9), aktivitas bisnis di area konflik (Prinsip 7). Dalam laporan UNWG (2019), demi terciptanya koherensi kebijakan bisnis dan HAM, negara juga perlu memperhatikan isu terkait pemenuhan gender serta Zona Ekonomi Khusus.

Negara atau pemerintah mungkin telah memiliki kebijakan/peraturan yang secara esensial menunjukkan tugas korporasi untuk mencegah pelanggaran HAM. Namun, pemerintah juga mesti mengevaluasi apakah kebijakan dan/atau peraturan yang ada telah secara efektif diterapkan oleh korporasi.

Untuk mengatasi kesenjangan dan mengevaluasi kebijakan/peraturan dalam tema bisnis dan HAM, pemerintah dapat menerbitkan kebijakan/peraturan terkait standar dan kewajiban uji tuntas HAM oleh korporasi. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah dapat memantau aktivitas bisnis secara berkala dan terukur terkait pemenuhan HAM oleh sektor bisnis.

Perkembangan Bisnis dan HAM di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mendukung UNGPs. Kelompok Kerja Bisnis dan HAM PBB (Working Group on Business and Human Rights) sebelumnya telah menyarankan agar negara-negara untuk menyusun kebijakan Rencana Aksi Nasional (National Action Plan) mengenai Bisnis dan HAM.

Pada 2016 wacana pembuatan suatu Rencana Aksi Bisnis Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia pun digaungkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Luar Negeri. Proses pengembangan rencana aksi ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia didukung ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) melalui suatu kajian dengan hasil berupa kertas kebijakan yang berjudul “Urgensitas Penyusunan dan Pengembangan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia”. Kementerian Luar Negeri kemudian mengeluarkan Panduan Umum Bisnis dan HAM di Indonesia yang selanjutnya menjadi dasar pengembangan Strategi Nasional Bisnis dan HAM.

Untuk mendukung pembentukan rencana aksi ini dan sebagai upaya pengarusutamaan bisnis dan HAM di Indonesia, pada tahun 2021 dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM. Hal ini pun diikuti dengan pembentukan Gugus Tugas Daerah Bisnis dan Hak Asasi Manusia (GTD BHAM).

Pada tahun 2023 akhirnya diterbitkan Perpres No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM). Stranas BHAM berperan sebagai arah kebijakan nasional yang memuat strategi dan langkah untuk digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan Pemangku Kepentingan lainnya untuk kemajuan dunia usaha dengan memperhatikan perlindungan, dan pemulihan HAM.

Selain kebijakan di atas, Indonesia telah memiliki berbagai peraturan yang terkait dengan bisnis dan HAM. Peraturan-peraturan itu menuntut kewajiban para pelaku usaha untuk menghormati HAM di Indonesia. Dalam prakteknya masih banyak penyimpangan yang terjadi dan telah menimbulkan dampak negatif bagi para pemangku hak.

Inisiatif lainnya yang muncul baru-baru ini adalah upaya Komnas HAM untuk menyusun Panduan Uji Tuntas/Penilaian HAM di Sektor Korporasi sebagai upaya meminimalisir pelanggaran HAM oleh sektor korporasi di Indonesia serta mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip Bisnis dan HAM. (Komnas HAM, 2024).

Uji Tuntas HAM merupakan salah satu upaya yang diamanatkan dalam UNGPs untuk dapat mendorong terlaksananya operasional bisnis yang bertanggungjawab. Uji Tuntas HAM juga telah diatur dalam OECD Guidelines for Multinational Enterprises on Responsible Business Conduct. Standar Uji Tuntas HAM menjadi salah satu kebutuhan penting bagi Indonesia mengingat masih banyak praktek bisnis yang mengabaikan prinsip-prinsip HAM.

Sejauh ini sektor bisnis yang telah diwajibkan untuk melakukan uji tuntas HAM adalah sektor perikanan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/PERMEN-KP/2015 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan (Permen KP No. 35/PERMEN-KP/2015). Pada prakteknya masih banyak sektor usaha lain yang rentan atas pelanggaran HAM termasuk sektor pertambangan, sektor perkebunan, sektor infrastruktur dan sektor lainnya.

Tidak adanya standar uji tuntas HAM juga merupakan bagian dari kontribusi kesenjangan rencana aksi dalam Stranas BHAM dengan UNGPs. Dalam strategi 2 poin 1 matriks Stranas BHAM, terdapat rencana penyusunan pedoman atau kebijakan praktis/teknis untuk melaksanakan penghormatan HAM namun tidak menyertakan upaya uji tuntas HAM. Padahal Uji Tuntas HAM merupakan salah satu hal yang diamanatkan dalam prinsip 17 UNGPs.

Fian Alaydrus, peneliti dan pegiat hak asasi manusia (HAM), berkontribusi dalam artikel ini.

Leave a reply